MAKALAH
BANK DAN
LEMBAGA KEUANGAN SYARI’AH
“RAHN”
DISUSUN OLEH :
Ø ASMI SHAUTA QOLBI
Ø TETI MELASARI
DOSEN PENGAMPU :
SAEFUL MUJAB, M.EI.
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM BAKTI NEGARA
Jln. Jeruk No 9 Slawi Tegal
TAHUN AJARAN 2015/2016
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pada dasarnya manusia tidak bisa hidup tanpa
bantuan orang lain, disinilah manusia sebagai makhluk sosial. Ratusan tahun sistem ekonomi di dunia didominasi oleh sistem bunga, hampir setiap perjanjian menggunakan sitem
bunga. Sangat banyak lembaga keuangan syari’ah dalam mengatur keuangan
masyarakat, yang salah satunya adalah Pengadaian Syari’ah. Yang tidak semata-mata juga
turut serta dalam membantu kegitan ekonomi umat.
Gadai bukan hal baru
bagi kita, karena transaksi semacamnya sudah terjadi sejak zaman penjajahan
Belanda dan telah dikenal masyarakat sejak lama. Sebagai ketetapan
Allah menghapus riba dari muka bumi, semakin maraknya usaha berlebel syari’ah
hingga muncul dan lahirlah gadai syari’ah (rahn). Ar-Rahn adalah
transaksi gadai yaitu mendapat pinjaman dengan memberikan jaminan kepada si
pemberi pinjaman sesuai dengan prinsip syari’ah . Pemilik barang (yang
berutang) disebut Rahn (yang menggadaikan) sedangkan penerima
barang (pemberi gadai) disebut murtahin dan barang yang
digadaikan adalah ruhn atau marhun.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian dan landasan hukum Rahn?
2. Bagaimana lahirnya pegadaian syari’ah (Rahn)?
3. Bagaimana aplikasi rahn?
4. Apa perbedaan pegadaian syari’ah dan konvensional?
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN RAHN
1. Pengertian
Dalam pegadaian syari’ah
atau rahn terdapat beberapa istilah, jadi orang yang
menyerahkan barang gadai disebut rahin, orang yang menerima barang
gadai disebut murtahin, dan barang yang digadaikan yaitu marhun.[1]
Rahn merupakan
suatu sistem menjamin utang dengan barang yang kita miliki dimana uang
dimungkinkan bisa dibayar dengannya, atau dari hasil penjualannya. Rahn juga
bisa diartikan menahan salah satu harta benda milik si penjamin sebagai jaminan
atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang dijamin tersebut memiliki nilai
ekonomis dan pihak yang menahan itu memperoleh jaminan untuk dapat mengambil
kembali seluruh atau sebagian piutangnya.
Rahn juga yaitu perjanjian penyerahan barang atau harta Anda sebagai jaminan
berdasarkan hukum gadai berupa emas, perhiasan, kendaraan, atau barang bergerak
lainnya. Pegadaian syari’ah di Indonesia, yaitu yang bekerjasama dengan Perum
Pegadaian yang membentuk Unit Layanan Gadai Syari’ah (ULGS).[2]
Dalam menjalankan usaha gadai syari’ah, pegadaian syari’ah
berpedoman pada fatwa dari Dewan Syari’ah Nasional (DSN), yang merupakan badan
pengawas lembaga keuangan syari’ah Bank dan non Bank yang dibentuk Majelis
Ulama Indonesia (MUI). Dalam kantor pusat Perum Pegadaian ada Dewan Pengawas Syari’ah (DPS). Fungsi DPS adalah sebagai berikut:
a. Mengawasi
jalanya operasionalisasi pegadaian sehari-hari, agar sesuai dengan ketentuan
syari’at.
b. Membuat
pernyataan secara berkala bahwa lembaga yang diawasinya telah berjalan sesuai
dengan ketentuan syari’ah.
c. Meneliti
dan membuat rekomendasi produk baru berdasarkan fatwa dari DSN.
2. Dasar Hukum
a. Al-Qur’an
وَإِن كُنتُمْ عَلَى
سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانُُ مَّقْبُوضَةُُ فَإِنْ أَمِنَ
بَعْضُكُم بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللهَ
رَبَّهُ وَلاَ تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ ءَاثِمُُ
قَلْبُهُ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمُُ
Artinya :“Apabila
kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai), sedangkan kamu
tidak memperoleh seorang penulis, hendaklah ada barang tanggungan yang
dipegang”. (QS. Al-Baqarah : 283)
b. As-Sunnah
“Dari Siti Aisyah r.a
bahwa Rasulullah saw. pernah membeli makanan dengan menggadaikan baju besi”
(HR. Bukhori dan Muslim)
c. Fatwa
DSN yang terkait langsung dengan jasa layanan pegadaian syari’ah adalah Fatwa
DSN No.25/DSN-MUI/III/2002 tentang gadai (rahn) dan Fatwa DSN No.2625/DSN-MUI/III/2002
tentang emas. Oleh karena itu saat ini pegadaian syari’ah hanya melayani satu
jenis akad yaitu ijarah (jasa penyewaan tempat untuk penitipan barang).
Mengenai fidusia dan hak jaminan atas tanah belum dilakukan oleh pegadaian
karena belum ada fatwa dari DSN tentang itu.
B. LAHIRNYA PEGADAIAN SYARI’AH
Berdiri pada bulan Januari
2003 tempatnya di Jakarta dengan Unit Layanan Gadai Syari’ah (ULGS) Cabang Dewi
Sartika. Kemudian berlanjut di kota-kota lainnya seperti Surabaya, Semarang,
Makasar, Surakarta, dan Yogyakarta pada tahun 2003 hingga September
2003. Masih pada tahun yang sama pula empat kantor cabang penggadaian di Aceh
menjadi pegadaian syari’ah.
Badan lembaga ini bersifat
mandiri dan tidak terpengaruh secara langsung oleh gejolak moneter baik dalam
negeri maupun internasional. Badan ini telah disesuaikan agar tidak menyimpang
dari ketentuan yang berlaku di dalamnya dan akan memperkaya khasanah lembaga
keuangan Indonesia.[3]
Operasionalisme pengadaian
pra fatwa MUI tanggal 16 desember 2003 tentang bunga Bank telah sesuai dengan
konsep syari’ah. Adapun beberapa pihak yang menepis anggapan itu. Setelah
melalui beberapa kajian yang cukup panjang, akhirnya disusunlah sebuah konsep
pendirian Unit Layanan Gadai Syari’ah sebagai langkah awal adanya divisi khusus
yang menangani kegiatan usaha syari’ah. Sebuah konsep ini mengacu pada sistem
administrasi modern, yaitu asas rasionalitas, efisiensi dan efektivitas yang
diselaraskan dengan nilai Islam dan yang mempunyai bisnis mandiri yang secara
struktural terpisah pengolahannya dari usaha gadai konvensional. Penggadaian syari’ah
mempunyai fungsi dalam beroperasi yaitu yang dijalankan oleh kantor-kantor
cabang pegadaian syari’ah/Unit Layanan Gadai Syari’ah (ULGS) sebagai satu unit
sebuah organisasi dibawah pembinaan divisi usaha lain Perum Pegadaian.
C.
APLIKASI RAHN
Sesuai dengan perkembangan dan kemajuan
ekonomi, rahn tidak hanya berlaku antar pribadi melainkan juga
antar pribadi dan lembaga keuangan seperti Bank. Untuk mendapatkan kredit dari
lembaga keuangan pihak Bank juga menuntut barang agunan yang dipegang Bank
sebagai jaminan atas kredit tersebut. Dalam istilah Bank barang agunan disebut sebagai collateral. Collateral ini sejalan
dengan marhun yang berlaku dalam akad rahn yang
dibicarakan ulama klasik.
Perbedaanya terletak pada pembayaran hutang yang
ditentukan oleh Bank. Kredit di Bank biasanya harus dibayar sekaligus dengan bunga uang
yang ditentukan oleh Bank. Oleh sebab itu jumlah uang yang dibayar oleh debitur
akan lebih besar yang dipinjam dari Bank.
Kontrak rahn dipakai dalam perbankan
dalam dua hal berikut:
1. Produk
Pelengkap
Rahn dipakai
sebagai produk pelengkap artinya sebagai akad tambahan (jaminan atau collateral)
terhadap produk lain seperti dalam pembiayaan bai’ al-murabahah. Bank dapat menahan barang sebagai konsekuensi
akad tersebut.
2. Produk
Tersendiri
Akad rahn telah dipakai sebagai
alternatif dari pegadaian konvensioanal. Bedanya dengan gadai biasa,
dalam rahn nasabah tidak dikenakan bunga tetapi yang dipungut
dari nasabah adalah biaya penitipan, pemeliharaan, penjagaan serta biaya
penaksiran yang dipungut dan ditetapkan diawal perjanjian. Sedangkan dalam
perjanjian gadai biasa, nasabah dibebankan juga bunga pinjaman yang dapat terakumulasi
dan berlipat ganda.
Dalam mekanisme perjanjian gadai syari’ah, akad
perjanjian yang dapat dilakukan antara lain:
1. Akad al-qardhul
hasan
Akad ini dilakukan pada kasus nasabah yang
menggadaikan barangnya untuk keperluan konsumtif. Dengan demikian, nasabah (rahin)
akan memberikan biaya upah atau fee kepada pegadaian (murtahin)
yang telah menjaga atau merawat barang gadaian.
2. Akad al-mudharabah
Akad ini dilakukan untuk nasabah yang menggadaikan
jaminannya untuk menambah modal usaha (pembiayaan investasi dan modal kerja).
Dengan demikian, rahin akan memberikan bagi hasil (berdasarkan
keuntungan) kepada murtahin sesuai dengan kesepakatan, sampai
modal yang dipinjami terlunasi.
3. Akad bai’ a-lmuqoyyadah
Akad ini dilakukan untuk nasabah yang menggadaikan
jaminannya untuk menambah modal usaha berupa pembelian barang modal. Dengan
demikian murtahin akan membelikan barang yang dimaksud oleh rahin. (Sudarsono,2003:164)
Pada dasarnya konsep hutang piutang secara syari’ah
dilakukan dalam bentuk al-qardhul hasan, dimana pada bentuk ini
tujuan utamanya adalah memenuhi kewajiban moral sebagai jaminan sosial. Gadai
yang melengkapi perjanjian hutang piutang itu adalah sekedar memenuhi anjuran sebagaimana
disebutkan dalam Al-Qur’an surat Al-baqarah ayat 283. Tidak ada tambahan
biaya apapun diatas pokok pinjaman bagi si peminjam kecuali yang dipakainya
sendiri untuk sahnya suatu perjanjian hutang.
Dalam hal ini biaya-biaya seperti materai, dan akte
notaris menjadi beban peminjam. Bunga uang yang kita kenal dengan nama apapun
tidak sesuai dengan prinsip syari’ah, oleh karena itu tidak boleh dikenakan
dalam perjanjian hutang piutang secara syari’ah.
Perjanjian hutang piutang juga diperlukan bagi
keperluan komersil. Dalam hal perjanjian hutang piutang ini untuk keperluan
komersil, maka biasanya kelengkapan gadai yang cukup menjadi persyaratan yang
tidak dapat ditinggalkan. Ini membuktikan bahwa sebenarnya pihak peminjam
bukanlah orang yang miskin tetapi orang yang mempunyai sejumlah harta yang
dapat digadaikan. Pilihan yang terbuka untuk kepentingan ini adalah melakukan
perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk al-qaradhul hassan atau
melakukan hutang piutang dengan gadai dalam bentuk mudharabah.
D.
PERBEDAAN PEGADAIAN SYARI’AH DAN KONVENSIONAL
Perbedaan teknis antara pegadaian syari’ah dan
pegadaian konvensional
No.
|
Pegadaian Syari’ah
|
Pegadaian Konvensioanal
|
1.
|
Biaya administrasi menurut ketetapan berdasarkan golongan barang.
|
Biaya administrasi menurut prosentase berdasarkan golongan barang.
|
2.
|
Jasa simpanan berasarkan taksiran
|
Sewa modal berdasarkan pinjaman
|
3.
|
Bila lama pengembalian melebihi perjanjian, barang dijual kepada
masyarakat.
|
Bila lama pengembalian melebihi perjanjian, barang dilelang kepada
masyarakat.
|
4.
|
Jasa simpanan dihitung berdasarkan konstanta x taksiran
|
Sewa modal dihitung berdasarkan prosentase x uang pinjaman
|
5.
|
Uang pinjaman 90% dari taksiran
|
Uang pinjaman golongan A: 90% dari taksiran, golongan B, C, dan D: 86-88% dari taksiran
|
6.
|
Maksimal jangka waktu 4 bulan
|
Maksimal jangka waktu 3 bulan
|
7.
|
Uang kelebihan = hasil penjualan – (uang pinjaman + jasa penitipan +
biaya penjualan)
|
Uang kelebihan = hasil lelang – (uang pinjaman + sewa modal + biaya
lelang)
|
8.
|
Bila uang kelebihan dalam satu tahun tidak diambil diserahkan kepada
lembaga ZIS
|
Bila uang kelebihan dalam satu tahun tidak diambil menjadi milik
pegadaian.
|
E.
SOLUSI MEKANISME OPERASIONAL PEGADAIAN DENGAN PENERAPAN BERDASARKAN PRINSIP
SYARI’AH
Seperti yang telah
dikemukakan pada bab sebelumnya, sungguh merupakan suatu hal yang ironis,
ketika terdapat sebuah lembaga keuangan formal (pemerintah) tidak bisa
memperoleh pendapatan yang dapat menunjang kelangsungan hidup perusahaan
tersebut. Adapun lembaga pegadaian, seandainya dalam aktivitasnya tidak
menggunakan sistem bunga (memungut bunga dari pinjaman pokok), maka tentunya
lembaga tersebut akan mengalami hal yang demikian. Akan tetapi, disisi lain
sistem tersebut sangat memberatkan bagi nasabah, karena pemungutan bunganya
yang ditetapkan setiap 15 hari sekali.
Memang hal ini tidaklah
terlihat berat jika pinjaman tersebut bersifat kecil, namun jika uang yang
dipinjamkan tersebut sangat besar jumlahnya, maka akan sangat memberatkan bagi
nasabah. Persoalan ini cukup kompleks. Jika salah satu dimenangkan, maka hal
ini akan terlihat tidak adil. Karena pihak penerima gadai yang saat ini
berstatus lembaga pegadaian, akan merasa dirugikan jika dalam operasional
usahanya tidak mendapat keuntungan yang akan menunjang kegiatan usahanya.
Sedangkan pihak yang menggadaikan diwajibkan membayar berupa bunga setiap 15
harinya, maka hal ini juga akan merugikan pihak penggadai.
Karena barang atau hartanya
telah ditahan oleh penerima gadai. Selain itu hal yang menjadi sangat pokok
dalam persoalan ini adalah penerapan bunga yang berbuntut riba yang jelas-jelas
dilarang oleh syara’. Berangkat dari persolan tersebut, maka berikut sebuah
solusi yang bisa dijalankan guna lembaga pegadaian yang merupakan lembaga
penolong dapat tetap eksis dalam menjalankan mottonya “mengatasi masalah tanpa
masalah.”
1. Kategori Barang Gadai
Muhammad Shalikul Hadi mengutip pendapat Basyir (2003) bahwa jenis barang
gadai yang dapat digadaikan sebagai jaminan adalah semua jenis barang bergerak
dan tak bergerak, sehingga barang yang dapat digadaikan bisa semua barang asal
memenuhi syarat :
a. Merupakan benda
bernilai menurut hukum syara’
b.
Ada wujudnya ketika perjanjian terjadi
c.
Mungkin diserahkan seketika kepada murtahin.
2.
Pemeliharaan Barang Gadai
Ada perbedaan pendapat para ulama dalam hal pemeliharaaan barang gadai.
Ulama Syafi’iah dan Hanabilah berpendapat
biaya pemeliharaan barang gadai menjadi tanggung jawab pemberi gadai karena barang
tersebut merupakan miliknya dan akan kembali kepadanya. Sedangkan para ulama Hanafiah berpendapat
bahwa biaya pemeliharaan barang gadai menjadi tanggungan penerima gadai yang
mana dalam posisinya sebagai penerima amanat. Berdasarkan pendapat di atas maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa biaya pemeliharaan barang gadai adalah hak rahin dalam
kedudukannya sebagai pemilik yang sah. Akan tetapi jika harta atau barang jaminan
tersebut menjadi kekuasaan murtahin dan diizinkan oleh rahin
maka biaya pemeliharaan jatuh pada murtahin.
Sedangkan untuk mengganti biaya tersebut nantinya, apabila murtahin mendapat
izin dari rahin maka murtahin dapat memungut
hasil marhun sesuai dan senilai dengan yang telah ia
keluarkan. Tetapi apabila rahin tidak mengizinkannya maka
biaya pemeliharaan menjadi utang rahin kepada murtahin.
Pendapat ini dikutip oleh Muhammad Shalikul Hadi dari Sabiq (2003).[4] Resiko atas
kerusakan menurut para ulama Syafi’iah dan Hanabilah berpendapat bahwa murtahin
tidak bertanggung jawab atas rusaknya barang gadai jika tidak disengaja.
Sedangkan ulama Hanafiah berpendapat bahwa hal tersebut menjadi
tanggungan murtahin sebesar harga barang minimum, dihitung mulai
waktu diserahkannya barang gadai kepada murtahin sampai barang
tersebut rusak.
Shalikul Hadi mengutip Basyir (2003: 84), pembayaran atau pelunasan hutang
gadai apabila sudah sampai jatuh tempo dan rahin belum
membayarkan kembali utangnya maka murtahin boleh memaksa rahin untuk
menjual barangnya. Kemudian hasilnya digunakan untuk menebus utang tersebut
sedangkan jika terdapat sisa atas penjualan barang tersebut, maka akan
dikembalikan kepada rahin. Prosedur Pelelangan Gadai, jika ada
persyaratan akan menjual barang gadai pada saat jatuh tempo, maka ini
diperbolehkan dengan ketentuan : [5]
a.
Murtahin harus mengetahui
terlebih dahulu keadaan rahin
b. Dapat memperpanjang
tenggang waktu pembayaran
c. Kalau keadaan mendesak
murtahin boleh memindahkan barang gadai kepada murtahin lain
dengan izin rahin
d. Apabila ketentuan di
atas tidak terpenuhi, maka murtahin boleh menjual barang gadai
dan kelebihan uangnya dikembalikan kepada rahin.
3.
Pembentukan Laba Pegadaian
Sebelumnya dijelaskan
bahwa pegadaian memperoleh laba dari bunga gadai. Tetapi dari segi kaca mata syari’ah
hal ini dilarang. Tentunya jika bunga gadai dihapuskan maka lembaga pegadaian
tidak akan dapat melanjutkan operasionalnya lagi. Sebaliknya jika hal ini
diperbolehkan hukum haram atas riba mengikatnya dan tentu saja kerugian salah
satu pihak akan terjadi. Untuk mengatasi hal tersebut dapat
diterapkan sebagai berikut :
a.
Melakukan transaksi gadai dengan akad Rahn
b.
Melakukan transaksi gadai dengan akad Bai’ al Muqoyyadah
c.
Melakukan Akad al Mudharabah.
d.
Melakukan dengan akad Qardhul Hasan
Itulah beberapa
alternatif yang bisa dijalankan guna mengeliminir praktek riba dalam pegadaian
konvensional. Dan juga sebagai solusi atas persoalan yang terdapat dalam pegadaian
saat sekarang ini, sehingga diharapkan natinya lembaga ini benar-benar telah
menjalankan mottonya sebagai lembaga yang mengatasi masalah tanpa menimbulkan
masalah.[6]
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Rahn merupakan suatu sistem
menjamin utang dengan barang yang kita miliki dimana uang dimungkinkan bisa dibayar
dengannya, atau dari hasil penjualannya. Rahn juga bisa
diartikan menahan salah satu harta benda milik si penjamin sebagai jaminan atas
pinjaman yang diterimanya. Barang yang dijamin tersebut memiliki nilai ekonomis
dan pihak yang menahan itu memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali
seluruh atau sebagian piutangnya.
Fatwa DSN yang terkait langsung dengan jasa layanan
pegadaian syari’ah adalah Fatwa DSN No.25/DSN-MUI/III/2002 tentang gadai (rahn)
dan Fatwa DSN No.2625/DSN-MUI/III/2002 tentang emas. Oleh karena itu saat ini
pegadaian syari’ah hanya melayani satu jenis akad yaitu ijarah (jasa penyewaan
tempat untuk penitipan barang). Mengenai fidusia dan hak jaminan atas tanah
belum dilakukan oleh pegadaian karena belum ada fatwa dari DSN tentang itu.
Pegadaian syari’ah berdiri pertama
kali pada bulan Januari 2003 tempatnya di Jakarta dengan Unit Layanan Gadai Syari’ah
(ULGS) Cabang Dewi Sartika.
Dalam mekanisme perjanjian gadai syari’ah, akad
perjanjian yang dapat dilakukan antara lain: akad al-qardhul hasan, akad al-mudharabah dan akad bai’
al-muqoyyadah.
DAFTAR PUSTAKA
http://irmadevita.com/2010/akad-rahn/
http://alhushein.blogspot.co.id/2012/01/rahn-gadai.html
http://srimulyanicha.blogspot.co.id/2012/05/pegadaian-syariah-rahn.html
http://mahrunnysa.blogspot.co.id/2012/03/gadai-rahn.html
https://mujahidinimeis.wordpress.com/2011/01/24/konsep-gadai-syariah-ar-rahn-dalam-perspektif-ekonomi-islam-dan-fiqh-muamalah/
[6] Muhammad Syafi’i
Antonio. 1997. Bisnis dan Perbankan Dalam Perspektif Islam Dalam
Mustafa Kamal (ED) Wawasan Islam dan Ekonomi. Jakarta : Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi UI.