Selasa, 18 Oktober 2016

MAKALAH BANK DAN LEMBAGA KEUANGAN SYARI’AH “RAHN”


MAKALAH
BANK DAN LEMBAGA KEUANGAN SYARI’AH
“RAHN”


Description: H:\STAIBN.jpg














DISUSUN OLEH :
Ø  ASMI SHAUTA QOLBI
Ø  TETI MELASARI

DOSEN PENGAMPU :
SAEFUL MUJAB, M.EI.




SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM BAKTI NEGARA
Jln. Jeruk No 9 Slawi Tegal
TAHUN AJARAN 2015/2016
PENDAHULUAN

A.      LATAR BELAKANG
          Pada dasarnya manusia tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain, disinilah manusia sebagai makhluk sosial. Ratusan tahun sistem ekonomi di dunia didominasi oleh sistem bunga, hampir setiap perjanjian menggunakan sitem bunga. Sangat banyak lembaga keuangan syari’ah dalam mengatur keuangan masyarakat, yang salah satunya adalah Pengadaian Syari’ah. Yang tidak semata-mata juga turut serta dalam membantu kegitan ekonomi umat.
          Gadai bukan hal baru bagi kita, karena transaksi semacamnya sudah terjadi sejak zaman penjajahan Belanda dan telah dikenal masyarakat sejak lama. Sebagai  ketetapan Allah menghapus riba dari muka bumi, semakin maraknya usaha berlebel syari’ah hingga muncul dan lahirlah gadai syari’ah (rahn). Ar-Rahn adalah transaksi gadai yaitu mendapat pinjaman dengan memberikan jaminan kepada si pemberi pinjaman sesuai dengan prinsip syari’ah . Pemilik barang (yang berutang) disebut Rahn (yang menggadaikan) sedangkan penerima barang (pemberi gadai) disebut murtahin dan barang yang digadaikan adalah ruhn atau marhun.

B.       RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pengertian dan landasan hukum Rahn?
2.      Bagaimana lahirnya pegadaian syari’ah (Rahn)?
3.      Bagaimana aplikasi rahn?
4.      Apa perbedaan pegadaian syari’ah dan konvensional?










PEMBAHASAN

A.      PENGERTIAN RAHN
1.      Pengertian
        Dalam pegadaian syari’ah atau  rahn terdapat beberapa istilah, jadi orang yang menyerahkan barang gadai disebut rahin, orang yang menerima barang gadai disebut murtahin, dan barang yang digadaikan yaitu marhun.[1]
        Rahn merupakan suatu sistem menjamin utang dengan barang yang kita miliki dimana uang dimungkinkan bisa dibayar dengannya, atau dari hasil penjualannya. Rahn juga bisa diartikan menahan salah satu harta benda milik si penjamin sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang dijamin tersebut memiliki nilai ekonomis dan pihak yang menahan itu memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.
        Rahn juga yaitu perjanjian penyerahan barang atau harta Anda sebagai jaminan berdasarkan hukum gadai berupa emas, perhiasan, kendaraan, atau barang bergerak lainnya. Pegadaian syari’ah di Indonesia, yaitu yang bekerjasama dengan Perum Pegadaian yang membentuk Unit Layanan Gadai Syari’ah (ULGS).[2]
        Dalam menjalankan usaha gadai syari’ah, pegadaian syari’ah berpedoman pada fatwa dari Dewan Syari’ah Nasional (DSN), yang merupakan badan pengawas lembaga keuangan syari’ah Bank dan non Bank yang dibentuk Majelis Ulama Indonesia (MUI).  Dalam kantor pusat Perum Pegadaian ada Dewan Pengawas Syari’ah (DPS). Fungsi DPS adalah sebagai berikut:
a.       Mengawasi jalanya operasionalisasi pegadaian sehari-hari, agar sesuai dengan ketentuan syari’at.
b.      Membuat pernyataan secara berkala bahwa lembaga yang diawasinya telah berjalan sesuai dengan ketentuan syari’ah.
c.       Meneliti dan membuat rekomendasi produk baru berdasarkan fatwa dari DSN.




2.      Dasar Hukum
a.       Al-Qur’an
وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانُُ مَّقْبُوضَةُُ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللهَ رَبَّهُ وَلاَ تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ ءَاثِمُُ قَلْبُهُ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمُُ
Artinya :“Apabila kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai), sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang”. (QS. Al-Baqarah : 283)
b.      As-Sunnah
“Dari Siti Aisyah r.a bahwa Rasulullah saw. pernah membeli makanan dengan menggadaikan baju besi” (HR. Bukhori dan Muslim)
c.       Fatwa DSN yang terkait langsung dengan jasa layanan pegadaian syari’ah adalah Fatwa DSN No.25/DSN-MUI/III/2002 tentang gadai (rahn) dan Fatwa DSN No.2625/DSN-MUI/III/2002 tentang emas. Oleh karena itu saat ini pegadaian syari’ah hanya melayani satu jenis akad yaitu ijarah (jasa penyewaan tempat untuk penitipan barang). Mengenai fidusia dan hak jaminan atas tanah belum dilakukan oleh pegadaian karena belum ada fatwa dari DSN tentang itu.

B.       LAHIRNYA PEGADAIAN SYARI’AH
          Berdiri pada bulan Januari 2003 tempatnya di Jakarta dengan Unit Layanan Gadai Syari’ah (ULGS) Cabang Dewi Sartika. Kemudian berlanjut di kota-kota lainnya seperti Surabaya, Semarang, Makasar, Surakarta, dan Yogyakarta pada tahun  2003 hingga September 2003. Masih pada tahun yang sama pula empat kantor cabang penggadaian di Aceh menjadi pegadaian syari’ah.
          Badan lembaga ini bersifat mandiri dan tidak terpengaruh secara langsung oleh gejolak moneter baik dalam negeri maupun internasional. Badan ini telah disesuaikan agar tidak menyimpang dari ketentuan yang berlaku di dalamnya dan akan memperkaya khasanah lembaga keuangan Indonesia.[3]
          Operasionalisme pengadaian pra fatwa MUI tanggal 16 desember 2003 tentang bunga Bank telah sesuai dengan konsep syari’ah. Adapun beberapa pihak yang menepis anggapan itu. Setelah melalui beberapa kajian yang cukup panjang, akhirnya disusunlah sebuah konsep pendirian Unit Layanan Gadai Syari’ah sebagai langkah awal adanya divisi khusus yang menangani kegiatan usaha syari’ah. Sebuah konsep ini mengacu pada sistem administrasi modern, yaitu asas rasionalitas, efisiensi dan efektivitas yang diselaraskan dengan nilai Islam dan yang mempunyai bisnis mandiri yang secara struktural terpisah pengolahannya dari usaha gadai konvensional. Penggadaian syari’ah mempunyai fungsi dalam beroperasi yaitu yang dijalankan oleh kantor-kantor cabang pegadaian syari’ah/Unit Layanan Gadai Syari’ah (ULGS) sebagai satu unit sebuah organisasi dibawah pembinaan divisi usaha lain Perum Pegadaian.

C.       APLIKASI RAHN
          Sesuai dengan perkembangan dan kemajuan ekonomi, rahn tidak hanya berlaku antar pribadi melainkan juga antar pribadi dan lembaga keuangan seperti Bank. Untuk mendapatkan kredit dari lembaga keuangan pihak Bank juga menuntut barang agunan yang dipegang Bank sebagai jaminan atas kredit tersebut. Dalam istilah Bank barang agunan disebut sebagai collateralCollateral ini sejalan dengan marhun yang berlaku dalam akad rahn yang dibicarakan ulama klasik.
          Perbedaanya terletak pada pembayaran hutang yang ditentukan oleh Bank. Kredit di Bank biasanya harus dibayar sekaligus dengan bunga uang yang ditentukan oleh Bank. Oleh sebab itu jumlah uang yang dibayar oleh debitur akan lebih besar yang dipinjam dari Bank.
          Kontrak rahn dipakai dalam perbankan dalam dua hal berikut:
1.      Produk Pelengkap
Rahn dipakai sebagai produk pelengkap artinya sebagai akad tambahan (jaminan atau collateral) terhadap produk lain seperti dalam pembiayaan bai’ al-murabahah. Bank dapat menahan barang sebagai konsekuensi akad tersebut.
2.      Produk Tersendiri
Akad rahn telah dipakai sebagai alternatif dari pegadaian konvensioanal. Bedanya dengan gadai biasa, dalam rahn nasabah tidak dikenakan bunga tetapi yang dipungut dari nasabah adalah biaya penitipan, pemeliharaan, penjagaan serta biaya penaksiran yang dipungut dan ditetapkan diawal perjanjian. Sedangkan dalam perjanjian gadai biasa, nasabah dibebankan juga bunga pinjaman yang dapat terakumulasi dan berlipat ganda.
          Dalam mekanisme perjanjian gadai syari’ah, akad perjanjian yang dapat dilakukan antara lain:
1.      Akad al-qardhul hasan
Akad ini dilakukan pada kasus nasabah yang menggadaikan barangnya untuk keperluan konsumtif. Dengan demikian, nasabah (rahin) akan memberikan biaya upah atau fee kepada pegadaian (murtahin) yang telah menjaga atau merawat barang gadaian.
2.      Akad al-mudharabah
Akad ini dilakukan untuk nasabah yang menggadaikan jaminannya untuk menambah modal usaha (pembiayaan investasi dan modal kerja). Dengan demikian, rahin akan memberikan bagi hasil (berdasarkan keuntungan) kepada murtahin sesuai dengan kesepakatan, sampai modal yang dipinjami terlunasi.
3.      Akad bai a-lmuqoyyadah
Akad ini dilakukan untuk nasabah yang menggadaikan jaminannya untuk menambah modal usaha berupa pembelian barang modal. Dengan demikian murtahin akan membelikan barang yang dimaksud oleh rahin. (Sudarsono,2003:164)
          Pada dasarnya konsep hutang piutang secara syari’ah dilakukan dalam bentuk al-qardhul hasan, dimana pada bentuk ini tujuan utamanya adalah memenuhi kewajiban moral sebagai jaminan sosial. Gadai yang melengkapi perjanjian hutang piutang itu adalah sekedar memenuhi anjuran sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an surat Al-baqarah ayat 283. Tidak ada tambahan biaya apapun diatas pokok pinjaman bagi si peminjam kecuali yang dipakainya sendiri untuk sahnya suatu perjanjian hutang.
          Dalam hal ini biaya-biaya seperti materai, dan akte notaris menjadi beban peminjam. Bunga uang yang kita kenal dengan nama apapun tidak sesuai dengan prinsip syari’ah, oleh karena itu tidak boleh dikenakan dalam perjanjian hutang piutang secara syari’ah.
          Perjanjian hutang piutang juga diperlukan bagi keperluan komersil. Dalam hal perjanjian hutang piutang ini untuk keperluan komersil, maka biasanya kelengkapan gadai yang cukup menjadi persyaratan yang tidak dapat ditinggalkan. Ini membuktikan bahwa sebenarnya pihak peminjam bukanlah orang yang miskin tetapi orang yang mempunyai sejumlah harta yang dapat digadaikan. Pilihan yang terbuka untuk kepentingan ini adalah melakukan perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk al-qaradhul hassan atau melakukan hutang piutang dengan gadai dalam bentuk mudharabah.

D.      PERBEDAAN PEGADAIAN SYARI’AH DAN KONVENSIONAL
          Perbedaan teknis antara pegadaian syari’ah dan pegadaian konvensional
No.
Pegadaian Syari’ah
Pegadaian Konvensioanal
1.
Biaya administrasi menurut ketetapan berdasarkan golongan barang.
Biaya administrasi menurut prosentase berdasarkan golongan barang.
2.
Jasa simpanan berasarkan taksiran
Sewa modal berdasarkan pinjaman
3.
Bila lama pengembalian melebihi perjanjian, barang dijual kepada masyarakat.
Bila lama pengembalian melebihi perjanjian, barang dilelang kepada masyarakat.
4.
Jasa simpanan dihitung berdasarkan konstanta x taksiran
Sewa modal dihitung berdasarkan prosentase x uang pinjaman
5.
Uang pinjaman 90% dari taksiran
Uang pinjaman golongan A: 90% dari taksiran, golongan B, C, dan D: 86-88% dari taksiran
6.
Maksimal jangka waktu 4 bulan
Maksimal jangka waktu 3 bulan
7.
Uang kelebihan = hasil penjualan – (uang pinjaman + jasa penitipan + biaya penjualan) 
Uang kelebihan = hasil lelang – (uang pinjaman + sewa modal + biaya lelang)
8.
Bila uang kelebihan dalam satu tahun tidak diambil diserahkan kepada lembaga ZIS
Bila uang kelebihan dalam satu tahun tidak diambil menjadi milik pegadaian.


E.       SOLUSI MEKANISME OPERASIONAL PEGADAIAN DENGAN PENERAPAN BERDASARKAN PRINSIP SYARI’AH
          Seperti yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, sungguh merupakan suatu hal yang ironis, ketika terdapat sebuah lembaga keuangan formal (pemerintah) tidak bisa memperoleh pendapatan yang dapat menunjang kelangsungan hidup perusahaan tersebut. Adapun lembaga pegadaian, seandainya dalam aktivitasnya tidak menggunakan sistem bunga (memungut bunga dari pinjaman pokok), maka tentunya lembaga tersebut akan mengalami hal yang demikian. Akan tetapi, disisi lain sistem tersebut sangat memberatkan bagi nasabah, karena pemungutan bunganya yang ditetapkan setiap 15 hari sekali.
          Memang hal ini tidaklah terlihat berat jika pinjaman tersebut bersifat kecil, namun jika uang yang dipinjamkan tersebut sangat besar jumlahnya, maka akan sangat memberatkan bagi nasabah. Persoalan ini cukup kompleks. Jika salah satu dimenangkan, maka hal ini akan terlihat tidak adil.  Karena pihak penerima gadai yang saat ini berstatus lembaga pegadaian, akan merasa dirugikan jika dalam operasional usahanya tidak mendapat keuntungan yang akan menunjang kegiatan usahanya. Sedangkan pihak yang menggadaikan diwajibkan membayar berupa bunga setiap 15 harinya, maka hal ini juga akan merugikan pihak penggadai.
          Karena barang atau hartanya telah ditahan oleh penerima gadai. Selain itu hal yang menjadi sangat pokok dalam persoalan ini adalah penerapan bunga yang berbuntut riba yang jelas-jelas dilarang oleh syara’. Berangkat dari persolan tersebut, maka berikut sebuah solusi yang bisa dijalankan guna lembaga pegadaian yang merupakan lembaga penolong dapat tetap eksis dalam menjalankan mottonya “mengatasi masalah tanpa masalah.”
1.      Kategori Barang Gadai
Muhammad Shalikul Hadi mengutip pendapat Basyir (2003) bahwa jenis barang gadai yang dapat digadaikan sebagai jaminan adalah semua jenis barang bergerak dan tak bergerak, sehingga barang yang dapat digadaikan bisa semua barang asal memenuhi syarat :
a.       Merupakan benda bernilai menurut hukum syara’
b.      Ada wujudnya ketika perjanjian terjadi
c.       Mungkin diserahkan seketika kepada murtahin.
2.      Pemeliharaan Barang Gadai
Ada perbedaan pendapat para ulama dalam hal pemeliharaaan barang gadai. Ulama Syafi’iah dan Hanabilah berpendapat biaya pemeliharaan barang gadai menjadi tanggung jawab pemberi gadai karena barang tersebut merupakan miliknya dan akan kembali kepadanya. Sedangkan para  ulama Hanafiah berpendapat bahwa biaya pemeliharaan barang gadai menjadi tanggungan penerima gadai yang mana dalam posisinya sebagai penerima amanat. Berdasarkan pendapat di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa biaya pemeliharaan barang gadai adalah hak rahin dalam kedudukannya sebagai pemilik yang sah. Akan tetapi jika harta atau barang jaminan tersebut menjadi kekuasaan murtahin dan diizinkan oleh rahin  maka biaya pemeliharaan jatuh pada murtahin.
Sedangkan untuk mengganti biaya tersebut nantinya, apabila murtahin mendapat izin dari rahin maka murtahin dapat memungut hasil marhun sesuai dan senilai dengan yang telah ia keluarkan. Tetapi apabila rahin tidak mengizinkannya maka biaya pemeliharaan menjadi utang rahin kepada murtahin. Pendapat ini dikutip oleh Muhammad Shalikul Hadi dari Sabiq (2003).[4] Resiko atas kerusakan menurut para ulama Syafi’iah dan Hanabilah berpendapat bahwa murtahin tidak bertanggung jawab atas rusaknya barang gadai jika tidak disengaja. Sedangkan ulama Hanafiah berpendapat bahwa hal tersebut menjadi tanggungan murtahin sebesar harga barang minimum, dihitung mulai waktu diserahkannya barang gadai kepada murtahin sampai barang tersebut rusak.
Shalikul Hadi mengutip Basyir (2003: 84), pembayaran atau pelunasan hutang gadai apabila sudah sampai jatuh tempo dan rahin belum membayarkan kembali utangnya maka murtahin boleh memaksa rahin untuk menjual barangnya. Kemudian hasilnya digunakan untuk menebus utang tersebut sedangkan jika terdapat sisa atas penjualan barang tersebut, maka akan dikembalikan kepada rahin. Prosedur Pelelangan Gadai, jika ada persyaratan akan menjual barang gadai pada saat jatuh tempo, maka ini diperbolehkan dengan ketentuan : [5]
a.       Murtahin harus mengetahui terlebih dahulu keadaan rahin
b.      Dapat memperpanjang tenggang waktu pembayaran
c.       Kalau keadaan mendesak murtahin boleh memindahkan barang gadai kepada murtahin lain dengan izin rahin
d.      Apabila ketentuan di atas tidak terpenuhi, maka murtahin boleh menjual barang gadai dan kelebihan uangnya dikembalikan kepada rahin.
3.      Pembentukan Laba Pegadaian
Sebelumnya dijelaskan bahwa pegadaian memperoleh laba dari bunga gadai. Tetapi dari segi kaca mata syari’ah hal ini dilarang. Tentunya jika bunga gadai dihapuskan maka lembaga pegadaian tidak akan dapat melanjutkan operasionalnya lagi. Sebaliknya jika hal ini diperbolehkan hukum haram atas riba mengikatnya dan tentu saja kerugian salah satu pihak akan terjadi. Untuk mengatasi hal tersebut dapat diterapkan sebagai berikut :
a.       Melakukan transaksi gadai dengan akad Rahn
b.      Melakukan transaksi gadai dengan  akad Bai’ al Muqoyyadah
c.       Melakukan Akad al Mudharabah.
d.      Melakukan dengan akad Qardhul Hasan
Itulah beberapa alternatif yang bisa dijalankan guna mengeliminir praktek riba dalam pegadaian konvensional. Dan juga sebagai solusi atas persoalan yang terdapat dalam pegadaian saat sekarang ini, sehingga diharapkan natinya lembaga ini benar-benar telah menjalankan mottonya sebagai lembaga yang mengatasi masalah tanpa menimbulkan masalah.[6]




















PENUTUP

A.      KESIMPULAN
          Rahn merupakan suatu sistem menjamin utang dengan barang yang kita miliki dimana uang dimungkinkan bisa dibayar dengannya, atau dari hasil penjualannya. Rahn juga bisa diartikan menahan salah satu harta benda milik si penjamin sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang dijamin tersebut memiliki nilai ekonomis dan pihak yang menahan itu memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.
          Fatwa DSN yang terkait langsung dengan jasa layanan pegadaian syari’ah adalah Fatwa DSN No.25/DSN-MUI/III/2002 tentang gadai (rahn) dan Fatwa DSN No.2625/DSN-MUI/III/2002 tentang emas. Oleh karena itu saat ini pegadaian syari’ah hanya melayani satu jenis akad yaitu ijarah (jasa penyewaan tempat untuk penitipan barang). Mengenai fidusia dan hak jaminan atas tanah belum dilakukan oleh pegadaian karena belum ada fatwa dari DSN tentang itu.
          Pegadaian syari’ah berdiri pertama kali pada bulan Januari 2003 tempatnya di Jakarta dengan Unit Layanan Gadai Syari’ah (ULGS) Cabang Dewi Sartika.
          Dalam mekanisme perjanjian gadai syari’ah, akad perjanjian yang dapat dilakukan antara lain: akad al-qardhul hasan, akad al-mudharabah dan akad bai al-muqoyyadah.









DAFTAR PUSTAKA

http://irmadevita.com/2010/akad-rahn/
http://alhushein.blogspot.co.id/2012/01/rahn-gadai.html
http://srimulyanicha.blogspot.co.id/2012/05/pegadaian-syariah-rahn.html
http://mahrunnysa.blogspot.co.id/2012/03/gadai-rahn.html
https://mujahidinimeis.wordpress.com/2011/01/24/konsep-gadai-syariah-ar-rahn-dalam-perspektif-ekonomi-islam-dan-fiqh-muamalah/




[1]     Buchari Alma, manajemen bisnis syari’ah, cet 1 (bandung: Alfabeta, 2009) hlm. 30
[2]     Ahmad  Rodoni, Lembaga Keuangan Syari’ah, cet1 (jakarta: Zikrul hakim, 2004) hlm. 188
[3]     Op.cit hlm.31
[4]     Muhammad Sholikul Hadi, Op. Ci., hal.17
[5]      Muhammad Sholikul Hadi, Op. Ci., hal.85
[6]     Muhammad Syafi’i Antonio. 1997. Bisnis dan Perbankan Dalam Perspektif Islam Dalam Mustafa Kamal (ED) Wawasan Islam dan Ekonomi. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI.