MAKALAH
RUANG
LINGKUP
HUKUM
KEWARISAN ISLAM
Oleh :
DIAN SALAMAH
TAMAMI
Jurusan :
EKONOMI BISNIS SYARIAH
Dosen Pengampu :
H. GHILMAN NURSIDIN, Lc, MSI
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM BAKTI NEGARA
SLAWI - TEGAL-
JAWA TENGAH
2015
1.
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah
Hukum waris menduduki tempat amat penting dalam Hukum Islam. Hal ini dapat
dimengerti sebab masalah warisan pasti dialami oleh setiap orang. Dari seluruh hukum yang ada dan berlaku dewasa ini di samping hukum
perkawinan, maka hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum kekeluargaan
memegang peranan yang sangat penting, bahkan menentukan dan mencerminkan system
dan bentuk hukum yang berlaku dalam masyarakat itu. Hal ini disebabkan hukum
kewarisan ini sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia
bahwa setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa, yang merupakan peristiwa
hukum dan lazim disebut meninggal dunia. Apabila ada suatu peristiwa hukum
yaitu meninggalnya seseorang sekaligus menimbulkan akibat hukum, yaitu
bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban seseorang yang
meninggal dunia itu. Penyelesaian hak-hak dan kewajiban sebagai akibat adanya
peristiwa hukum karena meninggalnya seseorang diatur oleh hukum kewarisan islam.
Jadi kewarisan itu dapat dikatakan sebagai himpunan peraturan-peraturan hukum
yang mengatur hak-hak dan kewajiban
seseorang yang meninggal dunia oleh ahli waris atau badan hukum lainnya.[1]
Hukum kewarisan yang merupakan salah satu bagian dari sistem kekeluargaan
berpokok pangkal pada pada sistem menarik garis keturunan, pada pokoknya
dikenal tiga macam system keturunan.[2]
1.2.
Tujuan
Adapun tujuan dari
pembahasan ini adalah
a. Untuk mengetahui pengertian
Hukum Kewarisan Islam,
b. Untuk mengetahui hukum mempelajari dan
mengajarka Hukum Kewarisan
Islam
c. Untuk
mengetahui sejarah perkembangan Hukum
Kewarisan Islam, sumber hukumnya, dan asas-asasnya
d. Untuk
mengetahui posisi dan hubungan
Hukum Kewarisan Islam dengan hukum kewarisan nasional
e. Untuk
mengetahui pluralisme hukum kewarisan di Indonesia
1.3.
Ruang Lingkup Pembahasan
Adapun ruang lingkup materi dari pembahasan ini
adalah mengenai hukum kewarisan Islam dan hukum kewarisan di Indonesia
2.
Pembahasan
2.1.
Pengertian Waris
Kata waris dalam bahasa arab berasal dari kata ورث-يرث-ورثا yang berarti waris. Sedangkan dalam kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata waris berarti
Orang yang berhak menerima Harta pusaka dari orang yang telah meninggal[3].
Menurut
Wirdjono Projodikoro, mantan ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia,
mengatakan bahwa “hukum waris adalah hukum –hukum atau peraturan-peraturan yang
mengatur, tentang apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban
tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada
orang yang masih hidup”[4]
Pengertian
waris timbul karena adanya kematian yang terjadi pada anggota keluarga,
misalnya ayah, ibu atau anak apabila orang yang meninggal itu mempunyai harta
kekayaan. Maka, yang menjadi persoalan bukanlah peristiwa kematian itu,
melainkan harta kekayaan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal.
Dengan
demikian jelas, waris itu disatu sisi berakar pada keluarga karena menyangkut
siapa yang menjadi ahli waris dan berakar pada harta kekayaan karena menyangkut
waris atas harta yang ditinggalkan oleh almarhum. Dalam pengertian waris, yaitu
anggota keluarga yang meninggal dan anggota yang ditinggalkannya atau yang
diberi wasiat oleh almarhum. Peristiwa kematian yang menjadi penyebab timbulnya
pewaris kepada ahli waris. Obyek waris adalah harta yang ditinggalkan oleh
almarhum. Jika disimpulkan, maka Hukum Waris adalah peristiwa hukum yang
mengatur tentang beralihnya warisan dari peristiwa karena kematian kepada ahli
waris atau orang yang ditunjuk[5]
Atau,
"Ilmu yang dengan dia dapat diketahui orang-orang yang menjadi ahli
waris dalam islam, orang yang tidak dapat mewarisi harta warisan menurut islam,
kadar yang diterima oleh masing-masing ahli waris dalam islam serta cara
pengambilannya"[6]
Atau, Hukum
yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan
(tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan
berapa bagiannya masing-masing [7]
2.2. Pentingnya mempelajari dan
mengajarkan Hukum Kewarisan Islam
Begitu besar kedudukan dalam mempelajari
dan mengajarkan Hukum Kewarisan Islam atau Faraidh bagi umat Islam, sehingga
oleh sebagian besar ulama dikatakan sebagai separoh Ilmu. Hal ini didasarkan
kepada hadis Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Ahmad, Nasa’i dan Daru
Quthni:
تَعَلَّمُوْا
القُرْانَ وَعَلَّمُوْهُ النَّاسَ, وَتَعَلَّمُوْا الفَرَائِضَ وَعَلَّمُوْهَا
النَّاسَ, فَإنِّى امْرُؤٌ مَقْبُوْضٌ وَالعِلْمُ مَرْفُوْعٌ وَيُوشِكُ أَنْ
يَخْتَلِفَ اثْنَانِ فِى الفَرِيْضَةِ فَلاَ يَجِدَانِ أَحَدًا يُخْبِرُهَا
“Pelajarilah Al-Qur’an dan ajarkanlah kepada
orang-orang, pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah ilmu itu kepada
orang-orang, karena aku adalah manusia yang akan direnggut (wafat),
sesungguhnya ilmu itu akan dicabut dan akan timbul fitnah hingga kelak ada dua
orang berselisihan mengenai pembagian warisan, namun tidak ada orang yang
memutuskan perkara mereka”.
Hadits ini menempatkan perintah mempelajari dan mengajarkan ilmu faraidh sejalan dengan perintah mempelajari dan mengajarkan Al-Qur’an. Ini tidak lain menunjukkan bahwa ilmu faraidh merupakan cabang ilmu yang cukup penting dalam rangka mewujudkan keadilan dalam masyarakat. Lagipula tidak jarang naluri menusia cenderung materialistik, serakah, tidak adil, dan mengorbankan kepentingan orang lain demi memenangkan hak-haknya sendiri. Maka disinilah letak pentingnya kegunaan ilmu mawaris, hingga wajib dipelajari dan diajarkan. Agar di dalam pembagian warisan, setiap orang mentaati ketentuan yang telah diatur dalam al-Qur’an secara detail
Hadits ini menempatkan perintah mempelajari dan mengajarkan ilmu faraidh sejalan dengan perintah mempelajari dan mengajarkan Al-Qur’an. Ini tidak lain menunjukkan bahwa ilmu faraidh merupakan cabang ilmu yang cukup penting dalam rangka mewujudkan keadilan dalam masyarakat. Lagipula tidak jarang naluri menusia cenderung materialistik, serakah, tidak adil, dan mengorbankan kepentingan orang lain demi memenangkan hak-haknya sendiri. Maka disinilah letak pentingnya kegunaan ilmu mawaris, hingga wajib dipelajari dan diajarkan. Agar di dalam pembagian warisan, setiap orang mentaati ketentuan yang telah diatur dalam al-Qur’an secara detail
Hadis
tersebut juga menunjukkan bahwa Rasulullah saw, memerintahkan kepada umat Islam
untuk mempelajari dan mengajarkan ilmu faraidh, agar tidak terjadi
perselisihan-perselisihan dalam pembagian harta peninggalan, disebabkan
ketiadaan ulama faraidh. Perintah tersebut mengandung perintah wajib. Kewajiban
mempelajari dan mengajarkan ilmu itu gugur apabila ada sebagian orang yang
telah melaksanakannya. Jika tidak ada seorang pun yang melaksanakannya, maka
seluruh umat Islam menanggung dosa, disebabkan melalaikan suatu kewajiban.
Selain hadits di atas, di bawah ini juga beberapa hadits Nabi
saw. yang menjelaskan beberapa keutamaan dan anjuran untuk mempelajari dan
mengajarkan ilmu faraid:
–
Abdullah bin Amr bin al-Ash ra. berkata bahwa Nabi saw.
bersabda, “Ilmu itu ada tiga, selain yang tiga hanya bersifat tambahan
(sekunder), yaitu ayat-ayat muhakkamah (yang jelas ketentuannya), sunnah Nabi
saw. yang dilaksanakan, dan ilmu faraid.” (HR Ibnu Majah)
–
Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Nabi saw. bersabda,
“Pelajarilah ilmu faraid serta ajarkanlah kepada orang lain, karena
sesungguhnya, ilmu faraid setengahnya ilmu; ia akan dilupakan, dan ia ilmu
pertama yang akan diangkat dari umatku.” (HR Ibnu Majah dan ad-Darquthni)
–
Dalam riwayat lain disebutkan, “Pelajarilah ilmu
faraid, karena ia termasuk bagian dari agamamu dan setengah dari ilmu. Ilmu ini
adalah yang pertama kali akan dicabut dari umatku.” (HR Ibnu Majah, al-Hakim,
dan Baihaqi)
Pendapat Ulama: hukum mempelajari Hukum Kewarisan
Islam fardlu kifayah bagi seluruh umat Islam, namun bagi mufti, hakim,
calon hakim dan orang-orang yang karena jabatannya mengharuskannya menguasainya
hukumnya fardlu ‘ain.
2.3.
Sejarah Perkembangan Hukum
Kewarisan Islam masa Rasululloh
Sejarah
Hukum Kewarisan Islam tidak terlepas dari hukum kewarisan zaman Jahiliyah.
Hukum kewarisan adat Arab pada zaman Jahiliyah menetapkan tatacara pembagian
warisan dalam masyarakat yang didasarkan atas hubungan nasab atau
kekerabatan, dan hal itu pun hanya diberikan kepada keluarga yang laki-laki
saja, yaitu laki-laki yang sudah dewasa dan mampu memanggul senjata guna
mempertahankan kehormatan keluarga dan melakukan peperangan serta merampas
harta peperangan.
Perempuan
dan anak-anak tidak mendapatkan warisan, karena dipandang tidak mampu
memangul senjata guna mempertahankan kehormatan keluarga dan melakukan
peperangan serta merampas harta peperangan. Bahkan orang perempuan yaitu
istri ayah dan/ atau istri saudara dijadikan obyek warisan yang dapat diwaris
secara paksa. Praktik ini berakhir dan dihapuskan oleh Islam dengan yang
melarang menjadikan wanita dijadikan sebagai warisan. Selain itu perjanjian
bersaudara, janji setia, juga dijadikan dasar untuk saling mewarisi. Apabila
salah seorang dari mereka yang telah mengadakan perjanjian bersaudara itu
meninggal dunia maka pihak yang masih hidup berhak mendapat warisan sebesar 1/6
(seperenam) dari harta peninggalan. Sesudah itu barulah sisanya dibagikan untuk
para ahli warisnya. Yang dapat mewarisi berdasarkan janji bersaudara inipun
juga harus laki-laki.
Pengangkatan
anak yang berlaku di kalangan Jahiliyah juga dijadikan dasar untuk saling
mewarisi. Apabila anak angkat itu telah dewasa maka ia mempunyai hak untuk
sepenuhnya mewarisi harta bapak angkatnya, dengan syarat ia harus laki-laki.
Kemudian
pada waktu Nabi Muhammad SAW. Hijrah ke Madinah beserta para sahabatnya, Nabi
mempersaudarakan antara Muhajirin dengan kaum Anshor. Kemudian Nabi
manjadikan hubungan persaudaraan karena hijrah antara Muhajirin dengan
Anshor sebagai sebab untuk saling mewarisi.
Dalam
perkembangannya, dasar saling mewarisi karena adanya pengangkatan anak, janji
setia, dan persaudaraan karena hijrah inipun dihapus. Untuk selanjutnya suatu
ketentuan yang harus ditaati oleh setiap muslim. Perempuan dan anak-anak yang
semula tidak tidak dapat mewarisi, kemudian oleh Hukum Islam diberikan hak
(bagian) untuk mewarisi seperti halnya ahli waris laki-laki. Mereka mempunyai
hak yang sama dalam mewarisi, baik sedikit maupun banyaknya menurut bagian yang
ditetapkan oleh Allah SWT, sebagaimana firman-Nya ; bagi laki-laki ada hak
(bagian) dari harta peninggalan ibu, bapak, dan kerabatnya; dan bagi orang
perempuan juga ada hak (bagian) dari harta peninggalan ibu, bapak, dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditentukan.
Ayat-ayat
kewarisan itu turun secara berangsur-angsur, sejak tahun ke-II sampai VII
Hijriyah, selama Rasulullah berada di Madinah, menggantikan hukum adat
kewarisan Jahiliyah, sejalan dengan yat-ayat yang mengatur hukum keluarga
(perkawinan). Demikian pula praktik pelaksanaan hukum kewarisan pun secara
berangsur-angsur mengalami perubahan demi perubahan yang kesemuanya itu menuju
kesempurnaan, yaitu suatu tatanan masyarakat yang tertib, adil, dan sejahtera
denga susunan keluarga yang ersifat bilateral.
Pengaruh
adat istiadat masyarakat Arab jahiliyah yang Patrilineal[8]
sangatlah kuat sehingga mempengaruhi pikiran dan praktik hukum keluarga dan
Hukum Kewarisan pada masa sahabat dan sesudahnya. Praktik kekeluargaan
Patrilineal yang sangat menonjol tersebut telah mempengaruhi praktik dan
Ijtihad hukum kewarisan Islam pada masa lalu sampai sekarang. Dan paham inilah
yang masuk dan diajarkankepada umat Islam di Indonesia. Ketidakseimbangan telah
terjadi karena hukum keluarga yang dianut dan berkembang di Indonesia adalah
kukum keluarga yang bersifat bilateral, sementara hukum kewarisan
yang diajarkan bersifat patrilineal sehingga hukum kewarisan islam tersebut
kurang mendapat sambutan dengan tangan terbuka karena dirasa belum/ tidak pas
untuk diterapkan dalam praktik. Di sinilah diperlukan adanya kaji ulang dan
ijtihad baru di bidang hukum kewarisan.
Selain itu
dalam pengajaran Hukum Waris pun terdapat berbagai Mahdzab, seperti halnya pada
bidang-bidang lain.
2.4.
Sejarah Hukum Kewarisan di
Indonesia
2.4.1.
Hukum
Islam di Indonesia Zaman Kolonial
Dalam rangka melaksanakan tujuan untuk menguasai
kepulauan di Indonesia, maka VOC mempergunakan hukum Belanda untuk
daerah-daerah yang telah dikuasainya, dan tentunya secara berangsur-angsur VOC
juga membentuk badan-badan peradilan. Walaupun badan-badan peradilan sudah
dibentuk tentunya tidak dapat berfungsi efektif, sebab ketika hukum yang dibawa
oleh VOC tersebut tidak sesuai dengan hukum yang hidup dan diikuti oleh
masyarakat. Hal ini patut terjadi, sebab dalam statute Jakarta 1642 disebutkan
bahwa soal kewarisan bagi orang Indonesia yang beragama Islam harus
dipergunakan hukum Islam yakni hukum yang dipakai oleh rakyat sehari-hari.
Ditinjau dari sejarah hukum Hindia Belanda,
kedudukan Hukum Islam dapat dibagi dalam dua periode; yaitu periode Teori
Receptio in Complex dan periode Teori Receptei. Teori reception in complex adalah
teori penerimaan Hukum Islam sepenuhnya bagi orang-orang yang beragama Islam
karena mereka telah memeluk agama Islam meskipun dalam pelaksanaannya terdapat
penyimpangan-penyimpangan. Teori ini dipelopori oleh LWC Van Den Berg.
Apresiasi pemerintah Hindia Belanda pada teori ini hanya terdapat dalam hukum
kekeluargaan Islam, yakni hukum perkawinan dan hukum kewarisan, yaitu dengan
adanya Compidium Frejer yang disahkan dengan peraturan Resulutie der Indische
Regeering pada tanggal 25 Mei 1760. Sedangkan teori Receptie adalah teori
penerimaan Hukum Islam oleh Hukum Adat, yakni Hukum Islam baru berlaku bila
dikehendaki atau diterima oleh Hukum Adat. Yang dipelopori oleh C.Snouck
Hurgronje berdasarkan penelitiannya di Aceh dan tanah Gayo. Teori ini merupakan
reaksi menentang teori Van Den Berg yang manifestasinya terlihat dalam IS (Indische
Staatsregeling) tahun 1929 Pasal 134 ayat (2) yang berbunyi: ”dalam hal terjadi
masalah perdata antar sesama orang Islam, akan diselesaikan oleh Hakim agama
Islam apabila hukum adat mereka menghendakinya”.
Secara pelahan dan sistematis pemerintah kolonial
Belanda mencoba untuk menghilangkan pengaruh hukum Islam dalam lingkungan
peradilan yang ada, sebab dengan pertukaran agama penduduk menjadi Kristen akan
menguntungkan negeri Belanda karena penduduk pribumi yang mengetahui eratnya
hubungan agama dengan pemerintahannya. Namun demikian usaha tersebut tidak
berhasil, bahkan lebih lanjut Mr. Scholten van Oud Haarlem menulis sebuah nota
kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk tidak melakukan pelanggaran terhadap
bumiputera sebagai pencegahan terhadap perlawanan yang akan terjadi, maka
diberlakukan pasal 75 RR (Regeering Reglement) suatu peraturan yang menjadi dasar
bagi pemerintah Belanda untuk menjalankan kekuasaannya di Indonesia, S. 1855: 2
memberikan instruksi kepada pengadilan agar tetap mempergunakan undang-undang
agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan-kebiasaan itu sejauh tidak bertentangan
dengan kepatutan dan keadilan yang diakui umum.
Karena itu, pada waktu pemerintah kolonial Belanda
mendirikan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura pada tauhun1882 (Stb. 1882 Nomor
152) para pejabatnya telah dapat menentukan sendiri perkara-perkara apa yang
menjadi wewenangnya, yakni semua perkara yang berhubungan dengan perkawinan,
perceraian, mahar, nafkah, sah tidaknya anak, perwalian, kewarisan, hibah,
sedekah, Baitul Mal, dan wakaf. Sekalipun wewenang Pengadilan Agama tersebut
tidak ditentukan dengan jelas. Pada tahun 1937, wewenang Pengadilan Agama
mengadili perkara waris dicabut dengan keluarnya Stb. 1937 Nomor 116 dan 610
untuk Jawa dan Madura dan Stb. 1937 Nomor 638 dan 639 untuk Kalimantan
Selatan.
Pada masa pendudukan Jepang, semua peraturan
perundang-undangan yang ada pada zaman kolonial Belanda dinyatakan masih tetap
berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan hukum Pemerintahan Dai
Nippon.
2.4.2.
Hukum
Waris Islam Pasca Kemerdekaan
Dengan
dikumandangkannya Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, maka
seluruh sistem hukum yang ada semuanya berdasarkan kepada sistem hukum
Nasional, sebab pada tanggal 18 Agustus telah ditetapkan Undang-undang Dasar
1945 sebagai hukum dasar negara. Menurut Hazairin, sejak diproklamasikan
kemerdekaan Repubik Indonesia, hukum agama yang diyakini oleh pemeluknya
memperoleh legalitas secara konstitusional yuridis, hal ini didasarkan atas
sila Ketuhanan Yang Maha Esa, yang kemudian lebih lanjut dijabarkan di dalam
UUD 1945, khususnya pada pasal 29.
Sebelumya
pada zaman kolonial Belanda, hukum Islam dipandang sebagai bagian dari sistem
hukum adat (terutama sekali masalah hukum perkawinan), selain itu dalam hal
kewarisan masyarakat sering mempergunakan hukum adat, oleh karena itu persoalan
kewarisan dimasukkan ke dalam kekuasaan Pengadilan Negeri dan diadili
berdasarkan hukum adat (pada waktu itu, bahkan sampai dengan dikeluarkannya
Undang-undang Nomor Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada tanggal 29 Desember
1989, disahkan dan diundangkan dalam Lembaran Negara RI tahun 1989 Nomor 49,
keputusan pengadilan agama mempunyai kekuatan hukum apabila keputusan ini telah
diperkuat oleh Pengadilan Negeri).
Namun akhirnya teori resepsi ini dihapus berdasarkan
Ketetapan MPRS Nomor 11 tanggal 3 Desember 1960. Sementara itu Lembaga Pembinaan
Hukum Nasional (sekarang disebut BPHN) dalam suatu keputusannya yang
dikeluarkan pada tanggal 28 Mei 1962 mengenai hukum kekeluargaan telah pula
menetapkan asas-asas hukum kekeluargaan Indonesia, yang mana dalam pasal 12
ditetapkan sebagai berikut;
a. Di
seluruh Indonesia hanya berlaku satu sistem kekeluargaan yaitu sistem parental,
yang diatur dengan undang-undang, dengan menyesuaikan sistem-sistem lain yang
terdapat dalam hukum adat kepada sistem parental.
b. Hukum
waris untuk seluruh rakyat diatur secara bilateral individual, dengan
kemungkinan adanya variasi dalam sistem bilateral tersebut untuk kepentingan
golongan Islam yang memerlukannya.
c. Sistem
keutamaan dan sistem penggantian dalam hukum waris pada prinsipnya sama untuk
seluruh Indonesia, dengan sedikit perubahan bagi hukum waris Islam.
d. Hukum
adat dan yurisprudensi dalam bidang hukum kekeluargaan diakui sebagai hukum
pelengkap di sisi hukum perundang-undangan.
Sampai
tidak berlakunya lagi Ketetapan MPRS No.11/MPRS/1960 pada 27 Maret 1968 tidak
satupun undang-undang muncul di bidang hukum perkawinan dan hukum kewarisan
walaupun oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional telah disiapkan RUU Peraturan
Pelengkap Pencatatan Perkawinan, RUU Hukum Perkawinan, RUU Hukum Waris.
Sebaliknya di bidang yurisprudensi dengan keputusan-keputusan Mahkamah Agung
sejak tahun 1959 telah diciptakan beberapa keputusan dalam bidang hukum waris
nasional menurut sistem bilateral secara judge made law. Di sini terlihat di
bidang hukum waris, nasional yang bilateral lebih mendekati hukum Islam dari
pada hukum adat.
2.4.3.
Hukum
Kewarisan Islam dalam Kompilasi Hukum Islam
Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia sebagai badan penentu
haluan negara, badan pengarah kehidupan negara dan masyarakat Indonesia di masa
lalu (1960), pernah memberikan pengarahan soal hukum kewarisan di Indonesia.
Dalam lampiran ketetapan M.P.R.S. No. II/MPRS/1960 tanggal 3 Desember 1960 pada
penjelasan lampiran A dengan penegasan dibawah No.38 bahwa mengenai huruf c. 2
dan 4 dalam penyempurnaan undang-undang hukum perkawinan dan hukum waris supaya
diperhatikan adanya faktor-faktor agama, adat dan lain-lainnya.
Dalam
membicarakan ketetapan MPRS dan lampiran A-nya tersebut Hazairin menyimpulkan
pendapatnya bahwa MPRS menuntut agar kewarisan di Indonesia diatur secara
parental (patrilinial) yang sesuai dengan kehendak Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
Begitupun adat dan lain-lain yang perlu diperhatikan itu adalah yang sesuai
dengan al-Qur’an dan sunnah Rasul, dan disini sejauh mengenai hukum kewarisan
Islam.
Pada
tanggal 21 Maret 1984 Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Menteri Agama
Republik Indonesia mengeluarkan Surat Keputusan Bersama, yang isinya membentuk sebuah
panitia untuk mengumpulkan bahan-bahan dan merancang Kompilasi Hukum Islam menyangkut
hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan yang selanjutnya akan dipergunakan
oleh Pengadilan Agama dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenangnya.
Dalam
melaksanakan tugasnya, panitia ini menggunakan empat jalur, yaitu:
1.
Pengkajian kitab-kitab fiqih dengan
bantuan beberapa tenaga pengajar Fakultas Syariah IAIN seluruh Indonesia
2.
Menghimpun pendapat ulama fiqih
terkemuka di tanah air
3.
Menghimpun yurisprudensi yang terhimpun
dalam putusan-putusan Pengadilan Agama seluruh Indonesia sejak penjajahan
Belanda sampai dengan kompilasi tersusun.
4.
Mengadakan studi perbandingan menyangkut
pelaksanaan dan penegakan hukum Islam di Negara-negara muslim, terutama sekali
Negara-negara tetangga yang penduduknya beragama Islam.
5.
Konsep KHI hasil tim tersebut kemudian
dibahas oleh para ulama dan cendekiawan muslim loka karya yang diadakan pada
tanggal 2-5 Pebruari 1988 di Jakarta.
Hasil
Loka karya tersebut kemudian disampaikan oleh Menteri Agama kepada Presiden
untuk memperoleh bentuk yuridis dalam pelaksanaannya. Kemudian pada tanggal 10
Juni 1991 keluarlah Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991, yang memuat instruksi
kepada Menteri Agama untuk menyebarkan KHI . kemudian pada tanggal 22 Juli 1991
Menteri Agama mengeluarkan Keputusan No. 154 Tahun 1991 yang menyerukan kepada
seluruh instansi pemerintah lainnya yang terkait agar menyebarluaskan KHI
tersebut, dan sedapat mungkin menerapkannya di samping peraturan
perundang-undangan lainnya.
Kompilasi
Hukum Islam terbagi atas tiga buku, dan masing-masing buku dibagi ke dalam
beberapa bab dan pasal, khusus bidang
2.4.4. Hukum Waris Islam dalam Kewarisan
Nasional
Hukum
waris yang ada dan berlaku di Indonesia sampai saat ini masih belum merupakan
unifikasi hukum. Atas dasar peta hukum waris yang masih demikian
plurailistiknya, akibatnya sampai sekarang ini pengaturan masalah warisan di
Indonesia masih belum terdapat keseragaman. Bentuk dan sistem hukum waris
sangat erat kaitannya dengan bentuk masyarakat dan sifat kekeluargaan.
Sedangkan sistem kekeluargaan pada masyarakat Indonesia, berpokok pangkal pada
sistem menarik garis keturunan. Berkaitan dengan sistem penarikan garis
keturunan, seperti telah diketahui di Indonesia secara umum.
Setidak-tidaknya dikenal tiga macam sistem keturunan. Berkaitan erat dengan berbagai keinginan umat Islam dewasa ini yang bukan saja tentang pengharapan pengembangan ide-ide pembaharuan hukum waris Islam tetapi juga keinginan agar hukum Islam dapat mewakili menjadi hukum waris nasional, setidaknya bukan hanya sekedar dipertimbangkan, tetapi juga dijadikan kerangka acuan yang terbaik dan kongkrit mewujudkan keadilan universal.
Setidak-tidaknya dikenal tiga macam sistem keturunan. Berkaitan erat dengan berbagai keinginan umat Islam dewasa ini yang bukan saja tentang pengharapan pengembangan ide-ide pembaharuan hukum waris Islam tetapi juga keinginan agar hukum Islam dapat mewakili menjadi hukum waris nasional, setidaknya bukan hanya sekedar dipertimbangkan, tetapi juga dijadikan kerangka acuan yang terbaik dan kongkrit mewujudkan keadilan universal.
Di
sisi lain, dalam hal tertentu dikalangan intern umat Islam sendiri mengenai
hukum kewarisan masih menjadi persoalan dan menjadi polemik yang
berkepanjangan. Berbagai kritik dan ide pembaharuan merupakan fakta sosial
aspirasi sebagian ummat Islam Indonesia. Baik ide Hazairin, Munawir Sjadzili
ataupun lebih jauh berbagai tanggapan dan ijtihad di kalangan ulama sepanjang
sejarah sejak masa sahabat yang secara kronologis diwarisi oleh para pengikut
pemikiran mereka masing-masing.
Sebagian masyarakat Indonesia beragama Islam, hukum adat yang ada sudah dianggap mengakar menyulitkan menjadikan hukum waris Islam sebagai alternatif yang mana mana hukum adat terlahir karena adanya hubungan-hubungan hidup bersama dalam masyarakat yang secara sosiologis telah lama melembaga. Menurut Sukris Sarmadi dengan dijadikannya hukum adat sebagai realitas salah satu sumber dalam pembinaan hukum Nasional sebagaimana pula dengan hukum Islam, yang mana dianggap representatif sebagai preseden-preseden bagi hukum Nasional, dan dirancang serta diberlakukannya dua hukum itu dengan cara “tambal sulam” sebagai kebijakan Nasional, barangkali akan dianggap telah melenyapkan hukum kewarisan Islam karena hukum Islam mengenai kewarisan selama ini dipahami sebagai ajaran yang mutlak dengan cirri-ciri keadilan yang trasedental. Ditambahkan bahwa masyarakat yang beragama Islam walaupun dengan berlatar sosial budaya yang sebelumnya jauh berbeda dengan prinsip-prinsip Islam seperti masyarakat patrilinial, matrilineal[9] ataupun bilateral tertentu dengan keberadaan sistem hukum adatnya yang mempengaruhinya, maka sangat sulit untuk diterapkan suatu unifikasi hukum dalam suatu kodifikasi yang bersifat nasional.
Sebagian masyarakat Indonesia beragama Islam, hukum adat yang ada sudah dianggap mengakar menyulitkan menjadikan hukum waris Islam sebagai alternatif yang mana mana hukum adat terlahir karena adanya hubungan-hubungan hidup bersama dalam masyarakat yang secara sosiologis telah lama melembaga. Menurut Sukris Sarmadi dengan dijadikannya hukum adat sebagai realitas salah satu sumber dalam pembinaan hukum Nasional sebagaimana pula dengan hukum Islam, yang mana dianggap representatif sebagai preseden-preseden bagi hukum Nasional, dan dirancang serta diberlakukannya dua hukum itu dengan cara “tambal sulam” sebagai kebijakan Nasional, barangkali akan dianggap telah melenyapkan hukum kewarisan Islam karena hukum Islam mengenai kewarisan selama ini dipahami sebagai ajaran yang mutlak dengan cirri-ciri keadilan yang trasedental. Ditambahkan bahwa masyarakat yang beragama Islam walaupun dengan berlatar sosial budaya yang sebelumnya jauh berbeda dengan prinsip-prinsip Islam seperti masyarakat patrilinial, matrilineal[9] ataupun bilateral tertentu dengan keberadaan sistem hukum adatnya yang mempengaruhinya, maka sangat sulit untuk diterapkan suatu unifikasi hukum dalam suatu kodifikasi yang bersifat nasional.
2.5.
Sumber dan Dasar Hukum Kewarisan di
Indonesia
Ada beberapa landasan hukum yang dapat digunakan
sebagai landasan pelaksanaan waris di Indonesia, antara lain :
b.
Al Qur’an
a. QS An Nisa’ : 7
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ
وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ
وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا
Artinya : Bagi orang laki-laki
ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang
wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya,
baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.
b. QS An
Nisa’ : 9
وَلْيَخْشَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ
خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا
قَوْلًا سَدِيدًا
Artinya :
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan
dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah
dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar
c.
Hadits
Hadits yang dapat dijadikan landasan
teori Hukum Kewarisan Islam antara lain :
عن
إبن عباس رض الله عنه عن النبي صلى الله عليه و سلم : ألحقوا الفراءض بأهلها فما
بقيا فهو لأولى رجل ذكر
Artinya : Dari Ibnu Abbas R.A
dari Nabi SAW berkata : “Berikanlah faraid ( bagian-bagian yang ditentukan) itu
kepada yang berhak dan selebihnya berikanlah untuk laki-laki dari keturunan
laki-laki yang dekat.”
Dalam hadits lain Rosulullah SAW
bersabda :
عن
عمران بن حصين أن رجلا أتى النبى صلى الله عليه و سلم فقال : أن ابن ابنى مات
فمالى من ميراثه فقال لك السدس
Artinya : Dari ‘Umran bin Husain
bahwa seorang laki-laki mendatangi Nabi sambil berkata : “bahwa anak dari anak
laki-laki saya meninggal dunia, apa yang saya dapat dari warisannya.”Nabi
menjawab :”Kamu mendapat seperenam.”
d.
Ijtihad Ulama
Ijtihad ialah menyelidiki dalil-dalil
hukum dari sumbernya yang resmi yaitu al-qur’an dan hadits kemudian menarik
garis hukum daripadanya dalam suatu masalah tertentu, misalnya berijtihad dari
qur’an kemudian mengalirkan garis-garis hukum kewarisan islam daripadanya[10]
e.
UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang mengatur
kewenangan dan tata cara pemeriksaan perkara-perkara orang
Islam, yaitu : masalah perkawinan, Warisan, dan Wakaf.
f.
Inpres No. 1 tahun 1991 tentang kompilasi Hukum Islam
(KHI) yang mengatur perkawinan, Waris, dan Wakaf.
g.
Amandemen UU No. 3 tahun 2006 yang memperluas kewenangan
Peradilan Agama memeriksa perkara-perkara : Zakat, Infak, Shadaqah, dan Ekonomi
Syari’ah.
2.6.
Azas-azas
Hukum Kewarisan Islam
Asas-asas
dapat diklasifikasikan sebagi berikut :[11]
a. Asas
Ijbari
Secara etimologi “Ijbari” mengandung
arti paksaan, yaitu melakukan sesuatu diluar kehendak sendiri. Dalam hal hukum
waris berarti terjadinya peralihan harta seseorang yang telah meninggal kepada
yang masih hidup terjadi dengan sendirinya. Artinya tanpa adanya perbuatan
hukum atau pernyataan kehendak dari pewaris. Dengan perkataan lain adanya
kematian pewaris secara otomatis hartanya beralih kepada ahli warisnya.
Asas Ijbari ini dapat dilihat dari
berbagai segi yaitu: 1 dari peralihan harta, 2 dari segi jumlah harta yang
beralih, 3 dari segi kepada siapa harta itu akan beralih. Kententuan asas
Ijbari ini dapat dilihat antara lain dalam ketentuan Alquran surat An-Nisa ayat
7 yang menyelaskan bahwa: “bagi seorang laki-laki maupun perempuan ada nasib
dari harta peninggalan orang tuanya atau dari karib kerabatnya”
kata nasib dalam ayat tersebut dalam
arti saham, bagian atau jatah dari harta peninggalan sipewaris.
Yang dimaksud dengan asas bilateral
dalam hukum kewarisan Islam adalah seseorang menerima hak kewarisan bersumber
dari kedua belah pihak kerabat, yaitu dari garis keturunan perempuan maupun
keturunan laki-laki. Asas bilateral ini secara tegas dapat di temui dalam
ketentuan Alquran surat an-Nisa ayat 7, 11, 12 dan 176 antara lain dalam ayat 7
dikemukakan bahwa seorang laki-laki berhak memperoleh warisan dari pihak
ayahnya maupun ibunya. Begitu juga dengan perempuan mendapat warisan dari kedua
belah pihak orang tuanya. Asas bilateral ini juga berlaku pula untuk kerabat
garis kesamping (yaitu melalui ayah dan ibu).
c. Asas
Individual
Pengertian asas individual ini
adalah: setiap ahli waris (secara individu) berhak atas bagian yang didapatkan
tanpa terikat kepada ahli waris lainya. Dengan demikian bagian yang diperoleh
oleh ahli waris secara individu berhak mendapatkan semua harta yang telah
menjadi bagianya. Ketentuan ini dapat dijumpai dalam ketentuan Alquran surat
an-Nisa ayat 7 yang mengemukakan bahwa bagian masing-masing ahli waris
ditentukan secara individu.
d. Asas
keadilan berimbang
Asas keadilan berimbang maksudnya
adalah keseimbangan antara antara hak dengan kewajiban dan keseimbangan antara
yang diperoleh dengan kebutuhan dan kegunaan. Dengan perkataan lain dapat
dikemukakan bahwa faktor jenis kelamin tidak menentukan dalam hak kewarisan.
Dasar hukum asas ini adalah dalam ketentuan Alquran surat An-Nisa ayat 7, 11,
12 dan 179.
e. Kewarisan
Akibat Kematian
Hukum waris Islam memandang bahwa
terjadinya peralihan harta hanya semata-mata karena adanya kematian. Dengan
perkataan lain harta seseorang tidak dapat beralih apabila belum ada kematian.
Apabila pewaris masih hidup maka peralihan harta tidak dapat dilakukan dengan
pewarisan.
2.7.
Posisi
dan hubungan Hukum Kewarisan Islam
dengan hukum kewarisan nasional
Hukum waris Islam berlaku bagi
masyarakat Indonesia yang beragama Islam dan diatur dalam Pasal 171-214
Kompilasi Hukum Indonesia, yaitu materi hukum Islam yang ditulis dalam 229
pasal. Dalam hukum waris Islam menganut prinsip kewarisan individual bilateral,
bukan kolektif maupun mayorat. Dengan demikian pewaris bisa berasal dari pihak
bapak atau ibu.
2.8.
Pluralisme
Hukum Kewarisan di Indonesia
Di indonesia belum ada suatu ketentuan hukum tentang
waris yang dapat ditetapkan untuk seluruh warga negaranya. Oleh karena itu,
hukum warisan yang diterapkan bagi seluruh warga negara indonesia masih
berbeda-beda mengingat penggolongan warga negara.
a.
Bagi warga negara golongan indonesia
asli, pada prinsipnya berlaku hukum adat, yang sesuai dengan hukum adat yang
berlaku masing-masing daerah.
b.
Bagi warga negara golongan indonesia
asli yang beragama islam di berbagai daerah, berlaku hukum islam yang sangat
berpengaruh padanya.
c.
Bagi orang arab pada umumnya, berlaku
hukum islam secara keseluruhan.
d.
Bagi orang-orang tionghoa dan eropa,
berlaku hukum warisan dari Bugerlijk Wetboek.
Seperti penegasan tentang anak luar kawin dan anak angkat
seharusnya juga termasuk dalam bagian ini. Mengenai anak yang lahir diluar
perkawinan disebut dalam pasal 186 bahwa ia mempunyai hubungan saling mewarisi
dengan ibu dan keluarga pihak ibunya. Sedangkan mengenai anak angkat perlu ada
pengesahan bahwa sesuai dengan ketentuan hukum islam anak angkat tidak mewarisi
orang tua angkatnya. Akan tetapi, anak angkat berhak mendapatkan bagian harta
orang tua angkatnya melalui prosedur lain.
3.
Kesimpulan
a.
Hukum yang mengatur tentang pemindahan
hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan
siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.
b.
Beberapa istilah yang sering digunakan: Hukum
Waris, Hukum Warisan, Faraid, Fiqh Mawaris dan Hukum Kewarisan
c. Kewarisan timbul karena meninggalnya seseorang
d. Keutamaan dan pentingnya dalam mempelajari dan
mengajarkan ilmu faraidh, sehingga menurut beberapa ulama, mempelajari Faraidh adalah
merupakan separuh dari ilmu dan hukumnya fardhu kifayah
e. Ilmu
faraidh merupakan cabang ilmu yang cukup penting dalam rangka mewujudkan
keadilan dalam masyarakat
f. Sistem
kewarisan Islam berpedoman pada azas Patrilineal
g. Di Indonesia masih menggunakan banyak rujukan hukum
dalam menentukan hukum waris
h. Untuk menjembatani sistem Patrilineal dan sistem bilateral
dalam hubungan keluarga, maka dibuat Kompilasi Hukum Islam, sehingga dalam hukum waris Islam Indonesia menganut
prinsip kewarisan individual bilateral, bukan kolektif maupun mayorat. Dengan demikian
pewaris bisa berasal dari pihak bapak atau ibu.
DAFTAR PUSTAKA
[1]
M. Idris Lamulyo, S.H. Hukum Kewarisan
Islam, Jakarta, 1984. hal. 1
[2]
Ibid.
[3]
Tim penyusun Kamus Pusat Bahasa,
Kamus Besar Bahasa Indonesia,.ed.3 . balai pustaka,jakarta, 2001, 1386 hlm.
[4]
M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam di Pengadilan dan
Kewarisan Menurut Undang-Undang Hukum Perdata (BW) di Pengadilan Negeri (Suatu
Studi Kasus)(Jakarta:CV.Pedoman Ilmu Jaya,1992),hlm.108
[5]
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia(Bandung: Citra Aditya Bakti,
1993),hlm.266-267
[7]
Kompilasi
Hukum Islam, Pasal 171 (a)
[8]
suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari
pihak ayah
[9]
suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari
pihak ibu
[10] M. Idris
Lamulyo, S.H. Hukum Kewarisan Islam,
Jakarta, 1984. hal. 8
[11]
(Suhardi K Lubis, 1995:37)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar