Jumat, 09 Oktober 2015

MAKALAH RUANG LINGKUP KEWARISAN ISLAM



MAKALAH

RUANG LINGKUP
HUKUM KEWARISAN ISLAM



Oleh :
DIAN SALAMAH
TAMAMI


Jurusan :
EKONOMI BISNIS SYARIAH


Dosen Pengampu :
H. GHILMAN NURSIDIN, Lc, MSI





























SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM BAKTI NEGARA
SLAWI - TEGAL- JAWA TENGAH
2015


1.      PENDAHULUAN
1.1.   Latar Belakang Masalah
Hukum waris menduduki tempat amat penting dalam Hukum Islam. Hal ini dapat dimengerti sebab masalah warisan pasti dialami oleh setiap orang. Dari seluruh hukum yang ada dan berlaku dewasa ini di samping hukum perkawinan, maka hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum kekeluargaan memegang peranan yang sangat penting, bahkan menentukan dan mencerminkan system dan bentuk hukum yang berlaku dalam masyarakat itu. Hal ini disebabkan hukum kewarisan ini sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia bahwa setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa, yang merupakan peristiwa hukum dan lazim disebut meninggal dunia. Apabila ada suatu peristiwa hukum yaitu meninggalnya seseorang sekaligus menimbulkan akibat hukum, yaitu bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia itu. Penyelesaian hak-hak dan kewajiban sebagai akibat adanya peristiwa hukum karena meninggalnya seseorang diatur oleh hukum kewarisan islam. Jadi kewarisan itu dapat dikatakan sebagai himpunan peraturan-peraturan hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban  seseorang yang meninggal dunia oleh ahli waris atau badan hukum lainnya.[1]
Hukum kewarisan yang merupakan salah satu bagian dari sistem kekeluargaan berpokok pangkal pada pada sistem menarik garis keturunan, pada pokoknya dikenal tiga macam system keturunan.[2]

1.2.   Tujuan
Adapun tujuan dari pembahasan ini adalah
a.       Untuk mengetahui pengertian Hukum Kewarisan Islam,
b.      Untuk mengetahui hukum mempelajari dan mengajarka Hukum Kewarisan Islam
c.       Untuk mengetahui sejarah perkembangan Hukum Kewarisan Islam, sumber hukumnya, dan asas-asasnya
d.      Untuk mengetahui posisi dan hubungan Hukum Kewarisan Islam dengan hukum kewarisan nasional
e.       Untuk mengetahui pluralisme hukum kewarisan di Indonesia

1.3.   Ruang Lingkup Pembahasan
Adapun ruang lingkup materi dari pembahasan ini adalah mengenai hukum kewarisan Islam dan hukum kewarisan di Indonesia

2.      Pembahasan
2.1.   Pengertian Waris
Kata waris dalam bahasa arab berasal dari kata ورث-يرث-ورثا yang berarti waris. Sedangkan dalam kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata waris berarti Orang yang berhak menerima Harta pusaka dari orang yang telah meninggal[3].
Menurut Wirdjono Projodikoro, mantan ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, mengatakan bahwa “hukum waris adalah hukum –hukum atau peraturan-peraturan yang mengatur, tentang apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang yang masih hidup”[4]
Pengertian waris timbul karena adanya kematian yang terjadi pada anggota keluarga, misalnya ayah, ibu atau anak apabila orang yang meninggal itu mempunyai harta kekayaan. Maka, yang menjadi persoalan bukanlah peristiwa kematian itu, melainkan harta kekayaan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal.
Dengan demikian jelas, waris itu disatu sisi berakar pada keluarga karena menyangkut siapa yang menjadi ahli waris dan berakar pada harta kekayaan karena menyangkut waris atas harta yang ditinggalkan oleh almarhum. Dalam pengertian waris, yaitu anggota keluarga yang meninggal dan anggota yang ditinggalkannya atau yang diberi wasiat oleh almarhum. Peristiwa kematian yang menjadi penyebab timbulnya pewaris kepada ahli waris. Obyek waris adalah harta yang ditinggalkan oleh almarhum. Jika disimpulkan, maka Hukum Waris adalah peristiwa hukum yang mengatur tentang beralihnya warisan dari peristiwa karena kematian kepada ahli waris atau orang yang ditunjuk[5]
Atau, "Ilmu yang dengan dia dapat diketahui orang-orang yang menjadi ahli waris dalam islam, orang yang tidak dapat mewarisi harta warisan menurut islam, kadar yang diterima oleh masing-masing ahli waris dalam islam serta cara pengambilannya"[6]
Atau, Hukum yang mengatur tentang pemindahan hak   pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing [7]

2.2.   Pentingnya mempelajari dan mengajarkan Hukum Kewarisan Islam
Begitu besar kedudukan dalam mempelajari dan mengajarkan Hukum Kewarisan Islam atau Faraidh bagi umat Islam, sehingga oleh sebagian besar ulama dikatakan sebagai separoh Ilmu. Hal ini didasarkan kepada hadis Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Ahmad, Nasa’i dan Daru Quthni:
تَعَلَّمُوْا القُرْانَ وَعَلَّمُوْهُ النَّاسَ, وَتَعَلَّمُوْا الفَرَائِضَ وَعَلَّمُوْهَا النَّاسَ, فَإنِّى امْرُؤٌ مَقْبُوْضٌ وَالعِلْمُ مَرْفُوْعٌ وَيُوشِكُ أَنْ يَخْتَلِفَ اثْنَانِ فِى الفَرِيْضَةِ فَلاَ يَجِدَانِ أَحَدًا يُخْبِرُهَا
 “Pelajarilah Al-Qur’an dan ajarkanlah kepada orang-orang, pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah ilmu itu kepada orang-orang, karena aku adalah manusia yang akan direnggut (wafat), sesungguhnya ilmu itu akan dicabut dan akan timbul fitnah hingga kelak ada dua orang berselisihan mengenai pembagian warisan, namun tidak ada orang yang memutuskan perkara mereka”.
Hadits ini menempatkan perintah mempelajari dan mengajarkan ilmu faraidh sejalan dengan perintah mempelajari dan mengajarkan Al-Qur’an. Ini tidak lain menunjukkan bahwa ilmu faraidh merupakan cabang ilmu yang cukup penting dalam rangka mewujudkan keadilan dalam masyarakat. Lagipula tidak jarang naluri menusia cenderung materialistik, serakah, tidak adil, dan mengorbankan kepentingan orang lain demi memenangkan hak-haknya sendiri. Maka disinilah letak pentingnya kegunaan ilmu mawaris, hingga wajib dipelajari dan diajarkan. Agar di dalam pembagian warisan, setiap orang mentaati ketentuan yang telah diatur dalam al-Qur’an secara detail
Hadis tersebut juga menunjukkan bahwa Rasulullah saw, memerintahkan kepada umat Islam untuk mempelajari dan mengajarkan ilmu faraidh, agar tidak terjadi perselisihan-perselisihan dalam pembagian harta peninggalan, disebabkan ketiadaan ulama faraidh. Perintah tersebut mengandung perintah wajib. Kewajiban mempelajari dan mengajarkan ilmu itu gugur apabila ada sebagian orang yang telah melaksanakannya. Jika tidak ada seorang pun yang melaksanakannya, maka seluruh umat Islam menanggung dosa, disebabkan melalaikan suatu kewajiban.
Selain hadits di atas, di bawah ini juga beberapa hadits Nabi saw. yang menjelaskan beberapa keutamaan dan anjuran untuk mempelajari dan mengajarkan ilmu faraid:
        Abdullah bin Amr bin al-Ash ra. berkata bahwa Nabi saw. bersabda, “Ilmu itu ada tiga, selain yang tiga hanya bersifat tambahan (sekunder), yaitu ayat-ayat muhakkamah (yang jelas ketentuannya), sunnah Nabi saw. yang dilaksanakan, dan ilmu faraid.” (HR Ibnu Majah)
        Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Nabi saw. bersabda, “Pelajarilah ilmu faraid serta ajarkanlah kepada orang lain, karena sesungguhnya, ilmu faraid setengahnya ilmu; ia akan dilupakan, dan ia ilmu pertama yang akan diangkat dari umatku.” (HR Ibnu Majah dan ad-Darquthni)
        Dalam riwayat lain disebutkan, “Pelajarilah ilmu faraid, karena ia termasuk bagian dari agamamu dan setengah dari ilmu. Ilmu ini adalah yang pertama kali akan dicabut dari umatku.” (HR Ibnu Majah, al-Hakim, dan Baihaqi)
Pendapat Ulama: hukum mempelajari Hukum Kewarisan Islam fardlu kifayah bagi seluruh umat Islam, namun  bagi mufti, hakim, calon hakim dan orang-orang yang karena jabatannya mengharuskannya menguasainya hukumnya   fardlu ‘ain.

2.3.   Sejarah Perkembangan Hukum Kewarisan Islam masa Rasululloh
Sejarah Hukum Kewarisan Islam tidak terlepas dari hukum kewarisan zaman Jahiliyah. Hukum kewarisan adat Arab pada zaman Jahiliyah menetapkan tatacara pembagian warisan dalam masyarakat yang didasarkan atas hubungan  nasab  atau kekerabatan, dan hal itu pun hanya diberikan kepada keluarga yang laki-laki saja, yaitu laki-laki yang sudah dewasa dan mampu memanggul senjata guna mempertahankan kehormatan keluarga dan melakukan peperangan serta merampas harta peperangan.
Perempuan dan anak-anak tidak mendapatkan warisan, karena dipandang tidak mampu  memangul senjata guna mempertahankan kehormatan keluarga dan melakukan peperangan serta merampas harta peperangan.  Bahkan orang perempuan yaitu istri ayah dan/ atau istri saudara dijadikan obyek warisan yang dapat diwaris secara paksa. Praktik ini berakhir dan dihapuskan oleh Islam dengan  yang melarang menjadikan wanita dijadikan sebagai warisan. Selain itu perjanjian bersaudara, janji setia, juga dijadikan dasar untuk saling mewarisi. Apabila salah seorang dari mereka yang telah mengadakan perjanjian bersaudara itu meninggal dunia maka pihak yang masih hidup berhak mendapat warisan sebesar 1/6 (seperenam) dari harta peninggalan. Sesudah itu barulah sisanya dibagikan untuk para ahli warisnya. Yang dapat mewarisi berdasarkan janji bersaudara inipun juga harus laki-laki.
Pengangkatan anak yang berlaku di kalangan Jahiliyah juga dijadikan dasar untuk saling mewarisi. Apabila anak angkat itu telah dewasa maka ia mempunyai hak untuk sepenuhnya mewarisi harta bapak angkatnya, dengan syarat ia harus laki-laki.
Kemudian pada waktu Nabi Muhammad SAW. Hijrah ke Madinah beserta para sahabatnya, Nabi mempersaudarakan antara Muhajirin dengan kaum Anshor. Kemudian Nabi manjadikan  hubungan persaudaraan karena hijrah antara Muhajirin dengan Anshor sebagai sebab untuk saling mewarisi.
Dalam perkembangannya, dasar saling mewarisi karena adanya pengangkatan anak, janji setia, dan persaudaraan karena hijrah inipun dihapus. Untuk selanjutnya suatu ketentuan yang harus ditaati oleh setiap muslim. Perempuan dan anak-anak yang semula tidak tidak dapat mewarisi, kemudian oleh Hukum Islam diberikan hak (bagian) untuk mewarisi seperti halnya ahli waris laki-laki. Mereka mempunyai hak yang sama dalam mewarisi, baik sedikit maupun banyaknya menurut bagian yang ditetapkan oleh Allah SWT, sebagaimana firman-Nya ; bagi laki-laki ada hak (bagian) dari harta peninggalan ibu, bapak, dan kerabatnya; dan bagi orang perempuan juga ada hak (bagian) dari harta peninggalan ibu, bapak, dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditentukan.  
Ayat-ayat kewarisan itu turun secara berangsur-angsur, sejak tahun ke-II sampai VII Hijriyah, selama Rasulullah berada di Madinah, menggantikan hukum adat kewarisan Jahiliyah, sejalan dengan yat-ayat yang mengatur hukum keluarga (perkawinan). Demikian pula praktik pelaksanaan hukum kewarisan pun secara berangsur-angsur mengalami perubahan demi perubahan yang kesemuanya itu menuju kesempurnaan, yaitu suatu tatanan masyarakat yang tertib, adil, dan sejahtera denga susunan keluarga yang ersifat bilateral.
Pengaruh adat istiadat masyarakat Arab jahiliyah yang Patrilineal[8] sangatlah kuat sehingga mempengaruhi pikiran dan praktik hukum keluarga dan Hukum Kewarisan pada masa sahabat dan sesudahnya. Praktik kekeluargaan Patrilineal yang sangat menonjol tersebut telah mempengaruhi praktik dan Ijtihad hukum kewarisan Islam pada masa lalu sampai sekarang. Dan paham inilah yang masuk dan diajarkankepada umat Islam di Indonesia. Ketidakseimbangan telah terjadi karena hukum keluarga yang dianut dan berkembang di Indonesia adalah kukum keluarga yang bersifat bilateral,  sementara  hukum kewarisan yang diajarkan bersifat patrilineal sehingga hukum kewarisan islam tersebut kurang mendapat sambutan dengan tangan terbuka karena dirasa belum/ tidak pas untuk diterapkan dalam praktik. Di sinilah diperlukan adanya kaji ulang dan ijtihad baru di bidang hukum kewarisan.
Selain itu dalam pengajaran Hukum Waris pun terdapat berbagai Mahdzab, seperti halnya pada bidang-bidang lain.

2.4.   Sejarah Hukum Kewarisan di Indonesia
2.4.1.      Hukum Islam di Indonesia Zaman Kolonial
Dalam rangka melaksanakan tujuan untuk menguasai kepulauan di Indonesia, maka VOC mempergunakan hukum Belanda untuk daerah-daerah yang telah dikuasainya, dan tentunya secara berangsur-angsur VOC juga membentuk badan-badan peradilan. Walaupun badan-badan peradilan sudah dibentuk tentunya tidak dapat berfungsi efektif, sebab ketika hukum yang dibawa oleh VOC tersebut tidak sesuai dengan hukum yang hidup dan diikuti oleh masyarakat. Hal ini patut terjadi, sebab dalam statute Jakarta 1642 disebutkan bahwa soal kewarisan bagi orang Indonesia yang beragama Islam harus dipergunakan hukum Islam yakni hukum yang dipakai oleh rakyat sehari-hari.
Ditinjau dari sejarah hukum Hindia Belanda, kedudukan Hukum Islam dapat dibagi dalam dua periode; yaitu periode Teori Receptio in Complex dan periode Teori Receptei. Teori reception in complex adalah teori penerimaan Hukum Islam sepenuhnya bagi orang-orang yang beragama Islam karena mereka telah memeluk agama Islam meskipun dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan-penyimpangan. Teori ini dipelopori oleh LWC Van Den Berg. Apresiasi pemerintah Hindia Belanda pada teori ini hanya terdapat dalam hukum kekeluargaan Islam, yakni hukum perkawinan dan hukum kewarisan, yaitu dengan adanya Compidium Frejer yang disahkan dengan peraturan Resulutie der Indische Regeering pada tanggal 25 Mei 1760. Sedangkan teori Receptie adalah teori penerimaan Hukum Islam oleh Hukum Adat, yakni Hukum Islam baru berlaku bila dikehendaki atau diterima oleh Hukum Adat. Yang dipelopori oleh C.Snouck Hurgronje berdasarkan penelitiannya di Aceh dan tanah Gayo. Teori ini merupakan reaksi menentang teori Van Den Berg yang manifestasinya terlihat dalam IS (Indische Staatsregeling) tahun 1929 Pasal 134 ayat (2) yang berbunyi: ”dalam hal terjadi masalah perdata antar sesama orang Islam, akan diselesaikan oleh Hakim agama Islam apabila hukum adat mereka menghendakinya”. 
Secara pelahan dan sistematis pemerintah kolonial Belanda mencoba untuk menghilangkan pengaruh hukum Islam dalam lingkungan peradilan yang ada, sebab dengan pertukaran agama penduduk menjadi Kristen akan menguntungkan negeri Belanda karena penduduk pribumi yang mengetahui eratnya hubungan agama dengan pemerintahannya. Namun demikian usaha tersebut tidak berhasil, bahkan lebih lanjut Mr. Scholten van Oud Haarlem menulis sebuah nota kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk tidak melakukan pelanggaran terhadap bumiputera sebagai pencegahan terhadap perlawanan yang akan terjadi, maka diberlakukan pasal 75 RR (Regeering Reglement) suatu peraturan yang menjadi dasar bagi pemerintah Belanda untuk menjalankan kekuasaannya di Indonesia, S. 1855: 2 memberikan instruksi kepada pengadilan agar tetap mempergunakan undang-undang agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan-kebiasaan itu sejauh tidak bertentangan dengan kepatutan dan keadilan yang diakui umum.
Karena itu, pada waktu pemerintah kolonial Belanda mendirikan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura pada tauhun1882 (Stb. 1882 Nomor 152) para pejabatnya telah dapat menentukan sendiri perkara-perkara apa yang menjadi wewenangnya, yakni semua perkara yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian, mahar, nafkah, sah tidaknya anak, perwalian, kewarisan, hibah, sedekah, Baitul Mal, dan wakaf. Sekalipun wewenang Pengadilan Agama tersebut tidak ditentukan dengan jelas. Pada tahun 1937, wewenang Pengadilan Agama mengadili perkara waris dicabut dengan keluarnya Stb. 1937 Nomor 116 dan 610 untuk Jawa dan Madura dan Stb. 1937 Nomor 638 dan 639 untuk Kalimantan Selatan. 
Pada masa pendudukan Jepang, semua peraturan perundang-undangan yang ada pada zaman kolonial Belanda dinyatakan masih tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan hukum Pemerintahan Dai Nippon.

2.4.2.      Hukum Waris Islam Pasca Kemerdekaan
Dengan dikumandangkannya Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, maka seluruh sistem hukum yang ada semuanya berdasarkan kepada sistem hukum Nasional, sebab pada tanggal 18 Agustus telah ditetapkan Undang-undang Dasar 1945 sebagai hukum dasar negara. Menurut Hazairin, sejak diproklamasikan kemerdekaan Repubik Indonesia, hukum agama yang diyakini oleh pemeluknya memperoleh legalitas secara konstitusional yuridis, hal ini didasarkan atas sila Ketuhanan Yang Maha Esa, yang kemudian lebih lanjut dijabarkan di dalam UUD 1945, khususnya pada pasal 29.
Sebelumya pada zaman kolonial Belanda, hukum Islam dipandang sebagai bagian dari sistem hukum adat (terutama sekali masalah hukum perkawinan), selain itu dalam hal kewarisan masyarakat sering mempergunakan hukum adat, oleh karena itu persoalan kewarisan dimasukkan ke dalam kekuasaan Pengadilan Negeri dan diadili berdasarkan hukum adat (pada waktu itu, bahkan sampai dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada tanggal 29 Desember 1989, disahkan dan diundangkan dalam Lembaran Negara RI tahun 1989 Nomor 49, keputusan pengadilan agama mempunyai kekuatan hukum apabila keputusan ini telah diperkuat oleh Pengadilan Negeri).
Namun akhirnya teori resepsi ini dihapus berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor 11 tanggal 3 Desember 1960. Sementara itu Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (sekarang disebut BPHN) dalam suatu keputusannya yang dikeluarkan pada tanggal 28 Mei 1962 mengenai hukum kekeluargaan telah pula menetapkan asas-asas hukum kekeluargaan Indonesia, yang mana dalam pasal 12 ditetapkan sebagai berikut;
a.       Di seluruh Indonesia hanya berlaku satu sistem kekeluargaan yaitu sistem parental, yang diatur dengan undang-undang, dengan menyesuaikan sistem-sistem lain yang terdapat dalam hukum adat kepada sistem parental.
b.      Hukum waris untuk seluruh rakyat diatur secara bilateral individual, dengan kemungkinan adanya variasi dalam sistem bilateral tersebut untuk kepentingan golongan Islam yang memerlukannya.
c.       Sistem keutamaan dan sistem penggantian dalam hukum waris pada prinsipnya sama untuk seluruh Indonesia, dengan sedikit perubahan bagi hukum waris Islam.
d.      Hukum adat dan yurisprudensi dalam bidang hukum kekeluargaan diakui sebagai hukum pelengkap di sisi hukum perundang-undangan. 
Sampai tidak berlakunya lagi Ketetapan MPRS No.11/MPRS/1960 pada 27 Maret 1968 tidak satupun undang-undang muncul di bidang hukum perkawinan dan hukum kewarisan walaupun oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional telah disiapkan RUU Peraturan Pelengkap Pencatatan Perkawinan, RUU Hukum Perkawinan, RUU Hukum Waris. Sebaliknya di bidang yurisprudensi dengan keputusan-keputusan Mahkamah Agung sejak tahun 1959 telah diciptakan beberapa keputusan dalam bidang hukum waris nasional menurut sistem bilateral secara judge made law. Di sini terlihat di bidang hukum waris, nasional yang bilateral lebih mendekati hukum Islam dari pada hukum adat.

2.4.3.      Hukum Kewarisan Islam dalam Kompilasi Hukum Islam
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia sebagai badan penentu haluan negara, badan pengarah kehidupan negara dan masyarakat Indonesia di masa lalu (1960), pernah memberikan pengarahan soal hukum kewarisan di Indonesia. Dalam lampiran ketetapan M.P.R.S. No. II/MPRS/1960 tanggal 3 Desember 1960 pada penjelasan lampiran A dengan penegasan dibawah No.38 bahwa mengenai huruf c. 2 dan 4 dalam penyempurnaan undang-undang hukum perkawinan dan hukum waris supaya diperhatikan adanya faktor-faktor agama, adat dan lain-lainnya.
Dalam membicarakan ketetapan MPRS dan lampiran A-nya tersebut Hazairin menyimpulkan pendapatnya bahwa MPRS menuntut agar kewarisan di Indonesia diatur secara parental (patrilinial) yang sesuai dengan kehendak Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Begitupun adat dan lain-lain yang perlu diperhatikan itu adalah yang sesuai dengan al-Qur’an dan sunnah Rasul, dan disini sejauh mengenai hukum kewarisan Islam. 
Pada tanggal 21 Maret 1984 Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Menteri Agama Republik Indonesia mengeluarkan Surat Keputusan Bersama, yang isinya membentuk sebuah panitia untuk mengumpulkan bahan-bahan dan merancang Kompilasi Hukum Islam menyangkut hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan yang selanjutnya akan dipergunakan oleh Pengadilan Agama dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenangnya.
Dalam melaksanakan tugasnya, panitia ini menggunakan empat jalur, yaitu:
1.      Pengkajian kitab-kitab fiqih dengan bantuan beberapa tenaga pengajar Fakultas Syariah IAIN seluruh Indonesia
2.      Menghimpun pendapat ulama fiqih terkemuka di tanah air
3.      Menghimpun yurisprudensi yang terhimpun dalam putusan-putusan Pengadilan Agama seluruh Indonesia sejak penjajahan Belanda sampai dengan kompilasi tersusun.
4.      Mengadakan studi perbandingan menyangkut pelaksanaan dan penegakan hukum Islam di Negara-negara muslim, terutama sekali Negara-negara tetangga yang penduduknya beragama Islam.
5.      Konsep KHI hasil tim tersebut kemudian dibahas oleh para ulama dan cendekiawan muslim loka karya yang diadakan pada tanggal 2-5 Pebruari 1988 di Jakarta.
Hasil Loka karya tersebut kemudian disampaikan oleh Menteri Agama kepada Presiden untuk memperoleh bentuk yuridis dalam pelaksanaannya. Kemudian pada tanggal 10 Juni 1991 keluarlah Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991, yang memuat instruksi kepada Menteri Agama untuk menyebarkan KHI . kemudian pada tanggal 22 Juli 1991 Menteri Agama mengeluarkan Keputusan No. 154 Tahun 1991 yang menyerukan kepada seluruh instansi pemerintah lainnya yang terkait agar menyebarluaskan KHI tersebut, dan sedapat mungkin menerapkannya di samping peraturan perundang-undangan lainnya.
Kompilasi Hukum Islam terbagi atas tiga buku, dan masing-masing buku dibagi ke dalam beberapa bab dan pasal, khusus bidang

2.4.4.      Hukum Waris Islam dalam Kewarisan Nasional
Hukum waris yang ada dan berlaku di Indonesia sampai saat ini masih belum merupakan unifikasi hukum. Atas dasar peta hukum waris yang masih demikian plurailistiknya, akibatnya sampai sekarang ini pengaturan masalah warisan di Indonesia masih belum terdapat keseragaman. Bentuk dan sistem hukum waris sangat erat kaitannya dengan bentuk masyarakat dan sifat kekeluargaan. Sedangkan sistem kekeluargaan pada masyarakat Indonesia, berpokok pangkal pada sistem menarik garis keturunan. Berkaitan dengan sistem penarikan garis keturunan, seperti telah diketahui di Indonesia secara umum.
Setidak-tidaknya dikenal tiga macam sistem keturunan. Berkaitan erat dengan berbagai keinginan umat Islam dewasa ini yang bukan saja tentang pengharapan pengembangan ide-ide pembaharuan hukum waris Islam tetapi juga keinginan agar hukum Islam dapat mewakili menjadi hukum waris nasional, setidaknya bukan hanya sekedar dipertimbangkan, tetapi juga dijadikan kerangka acuan yang terbaik dan kongkrit mewujudkan keadilan universal.
Di sisi lain, dalam hal tertentu dikalangan intern umat Islam sendiri mengenai hukum kewarisan masih menjadi persoalan dan menjadi polemik yang berkepanjangan. Berbagai kritik dan ide pembaharuan merupakan fakta sosial aspirasi sebagian ummat Islam Indonesia. Baik ide Hazairin, Munawir Sjadzili ataupun lebih jauh berbagai tanggapan dan ijtihad di kalangan ulama sepanjang sejarah sejak masa sahabat yang secara kronologis diwarisi oleh para pengikut pemikiran mereka masing-masing.
Sebagian masyarakat Indonesia beragama Islam, hukum adat yang ada sudah dianggap mengakar menyulitkan menjadikan hukum waris Islam sebagai alternatif yang mana mana hukum adat terlahir karena adanya hubungan-hubungan hidup bersama dalam masyarakat yang secara sosiologis telah lama melembaga. Menurut Sukris Sarmadi dengan dijadikannya hukum adat sebagai realitas salah satu sumber dalam pembinaan hukum Nasional sebagaimana pula dengan hukum Islam, yang mana dianggap representatif sebagai preseden-preseden bagi hukum Nasional, dan dirancang serta diberlakukannya dua hukum itu dengan cara “tambal sulam” sebagai kebijakan Nasional, barangkali akan dianggap telah melenyapkan hukum kewarisan Islam karena hukum Islam mengenai kewarisan selama ini dipahami sebagai ajaran yang mutlak dengan cirri-ciri keadilan yang trasedental. Ditambahkan bahwa masyarakat yang beragama Islam walaupun dengan berlatar sosial budaya yang sebelumnya jauh berbeda dengan prinsip-prinsip Islam seperti masyarakat patrilinial, matrilineal[9] ataupun bilateral tertentu dengan keberadaan sistem hukum adatnya yang mempengaruhinya, maka sangat sulit untuk diterapkan suatu unifikasi hukum dalam suatu kodifikasi yang bersifat nasional.  

2.5.   Sumber dan Dasar Hukum Kewarisan di Indonesia
Ada beberapa landasan hukum yang dapat digunakan sebagai landasan pelaksanaan waris di Indonesia, antara lain :
b.      Al Qur’an
a. QS An Nisa’ : 7
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا
Artinya : Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.

b. QS An Nisa’ : 9
وَلْيَخْشَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
Artinya : Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar

c.       Hadits
Hadits yang dapat dijadikan landasan teori Hukum Kewarisan Islam antara lain  :
عن إبن عباس رض الله عنه عن النبي صلى الله عليه و سلم : ألحقوا الفراءض بأهلها فما بقيا فهو لأولى رجل ذكر
Artinya : Dari Ibnu Abbas R.A dari Nabi SAW berkata : “Berikanlah faraid ( bagian-bagian yang ditentukan) itu kepada yang berhak dan selebihnya berikanlah untuk laki-laki dari keturunan laki-laki yang dekat.”

Dalam hadits lain Rosulullah SAW bersabda :
عن عمران بن حصين أن رجلا أتى النبى صلى الله عليه و سلم فقال : أن ابن ابنى مات فمالى من ميراثه فقال لك السدس
Artinya : Dari ‘Umran bin Husain bahwa seorang laki-laki mendatangi Nabi sambil berkata : “bahwa anak dari anak laki-laki saya meninggal dunia, apa yang saya dapat dari warisannya.”Nabi menjawab :”Kamu mendapat seperenam.”

d.      Ijtihad Ulama
Ijtihad ialah menyelidiki dalil-dalil hukum dari sumbernya yang resmi yaitu al-qur’an dan hadits kemudian menarik garis hukum daripadanya dalam suatu masalah tertentu, misalnya berijtihad dari qur’an kemudian mengalirkan garis-garis hukum kewarisan islam daripadanya[10]
e.       UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang mengatur kewenangan dan tata cara pemeriksaan perkara-perkara orang Islam, yaitu : masalah perkawinan, Warisan, dan Wakaf.
f.       Inpres No. 1 tahun 1991 tentang kompilasi Hukum Islam (KHI) yang mengatur perkawinan, Waris, dan Wakaf.
g.      Amandemen UU No. 3 tahun 2006 yang memperluas kewenangan Peradilan Agama memeriksa perkara-perkara : Zakat, Infak, Shadaqah, dan Ekonomi Syari’ah.

2.6.   Azas-azas Hukum Kewarisan Islam
Asas-asas dapat diklasifikasikan sebagi berikut :[11]
a.      Asas Ijbari
Secara etimologi “Ijbari” mengandung arti paksaan, yaitu melakukan sesuatu diluar kehendak sendiri. Dalam hal hukum waris berarti terjadinya peralihan harta seseorang yang telah meninggal kepada yang masih hidup terjadi dengan sendirinya. Artinya tanpa adanya perbuatan hukum atau pernyataan kehendak dari pewaris. Dengan perkataan lain adanya kematian pewaris secara otomatis hartanya beralih kepada ahli warisnya.
Asas Ijbari ini dapat dilihat dari berbagai segi yaitu: 1 dari peralihan harta, 2 dari segi jumlah harta yang beralih, 3 dari segi kepada siapa harta itu akan beralih. Kententuan asas Ijbari ini dapat dilihat antara lain dalam ketentuan Alquran surat An-Nisa ayat 7 yang menyelaskan bahwa: “bagi seorang laki-laki maupun perempuan ada nasib dari harta peninggalan orang tuanya atau dari karib kerabatnya”
kata nasib dalam ayat tersebut dalam arti saham, bagian atau jatah dari harta peninggalan sipewaris.
b.      Asas Bilateral
Yang dimaksud dengan asas bilateral dalam hukum kewarisan Islam adalah seseorang menerima hak kewarisan bersumber dari kedua belah pihak kerabat, yaitu dari garis keturunan perempuan maupun keturunan laki-laki. Asas bilateral ini secara tegas dapat di temui dalam ketentuan Alquran surat an-Nisa ayat 7, 11, 12 dan 176 antara lain dalam ayat 7 dikemukakan bahwa seorang laki-laki berhak memperoleh warisan dari pihak ayahnya maupun ibunya. Begitu juga dengan perempuan mendapat warisan dari kedua belah pihak orang tuanya. Asas bilateral ini juga berlaku pula untuk kerabat garis kesamping (yaitu melalui ayah dan ibu).
c.       Asas Individual
Pengertian asas individual ini adalah: setiap ahli waris (secara individu) berhak atas bagian yang didapatkan tanpa terikat kepada ahli waris lainya. Dengan demikian bagian yang diperoleh oleh ahli waris secara individu berhak mendapatkan semua harta yang telah menjadi bagianya. Ketentuan ini dapat dijumpai dalam ketentuan Alquran surat an-Nisa ayat 7 yang mengemukakan bahwa bagian masing-masing ahli waris ditentukan secara individu.
d.      Asas keadilan berimbang
Asas keadilan berimbang maksudnya adalah keseimbangan antara antara hak dengan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan kebutuhan dan kegunaan. Dengan perkataan lain dapat dikemukakan bahwa faktor jenis kelamin tidak menentukan dalam hak kewarisan. Dasar hukum asas ini adalah dalam ketentuan Alquran surat An-Nisa ayat 7, 11, 12 dan 179.
e.       Kewarisan Akibat Kematian
Hukum waris Islam memandang bahwa terjadinya peralihan harta hanya semata-mata karena adanya kematian. Dengan perkataan lain harta seseorang tidak dapat beralih apabila belum ada kematian. Apabila pewaris masih hidup maka peralihan harta tidak dapat dilakukan dengan pewarisan.

2.7.   Posisi dan hubungan Hukum Kewarisan Islam dengan hukum kewarisan nasional
Hukum waris Islam berlaku bagi masyarakat Indonesia yang beragama Islam dan diatur dalam Pasal 171-214 Kompilasi Hukum Indonesia, yaitu materi hukum Islam yang ditulis dalam 229 pasal. Dalam hukum waris Islam menganut prinsip kewarisan individual bilateral, bukan kolektif maupun mayorat. Dengan demikian pewaris bisa berasal dari pihak bapak atau ibu. 

2.8.   Pluralisme Hukum Kewarisan di Indonesia
Di indonesia belum ada suatu ketentuan hukum tentang waris yang dapat ditetapkan untuk seluruh warga negaranya. Oleh karena itu, hukum warisan yang diterapkan bagi seluruh warga negara indonesia masih berbeda-beda mengingat penggolongan warga negara.
a.       Bagi warga negara golongan indonesia asli, pada prinsipnya berlaku hukum adat, yang sesuai dengan hukum adat yang berlaku masing-masing daerah.
b.      Bagi warga negara golongan indonesia asli yang beragama islam di berbagai daerah, berlaku hukum islam yang sangat berpengaruh padanya.
c.       Bagi orang arab pada umumnya, berlaku hukum islam secara keseluruhan.
d.      Bagi orang-orang tionghoa dan eropa, berlaku hukum warisan dari Bugerlijk Wetboek.
Seperti penegasan tentang anak luar kawin dan anak angkat seharusnya juga termasuk dalam bagian ini. Mengenai anak yang lahir diluar perkawinan disebut dalam pasal 186 bahwa ia mempunyai hubungan saling mewarisi dengan ibu dan keluarga pihak ibunya. Sedangkan mengenai anak angkat perlu ada pengesahan bahwa sesuai dengan ketentuan hukum islam anak angkat tidak mewarisi orang tua angkatnya. Akan tetapi, anak angkat berhak mendapatkan bagian harta orang tua angkatnya melalui prosedur lain.

3.      Kesimpulan
a.       Hukum yang mengatur tentang pemindahan hak   pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.
b.      Beberapa istilah yang sering digunakan: Hukum Waris, Hukum Warisan, Faraid, Fiqh Mawaris dan Hukum Kewarisan
c.       Kewarisan timbul karena meninggalnya seseorang
d.      Keutamaan dan pentingnya dalam mempelajari dan mengajarkan ilmu faraidh, sehingga menurut beberapa ulama, mempelajari Faraidh adalah merupakan separuh dari ilmu dan hukumnya fardhu kifayah
e.       Ilmu faraidh merupakan cabang ilmu yang cukup penting dalam rangka mewujudkan keadilan dalam masyarakat
f.       Sistem kewarisan Islam berpedoman pada azas Patrilineal
g.      Di Indonesia masih menggunakan banyak rujukan hukum dalam menentukan hukum waris
h.      Untuk menjembatani sistem Patrilineal dan sistem bilateral dalam hubungan keluarga, maka dibuat Kompilasi Hukum Islam, sehingga dalam hukum waris Islam Indonesia menganut prinsip kewarisan individual bilateral, bukan kolektif maupun mayorat. Dengan demikian pewaris bisa berasal dari pihak bapak atau ibu.


DAFTAR PUSTAKA

http://ilmuhukumuin-suka.blogspot.co.id/2013/05/


[1] M. Idris Lamulyo, S.H. Hukum Kewarisan Islam, Jakarta, 1984. hal. 1
[2] Ibid.
[3] Tim penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,.ed.3 . balai pustaka,jakarta, 2001, 1386 hlm.
[4] M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam di Pengadilan dan Kewarisan Menurut Undang-Undang Hukum Perdata (BW) di Pengadilan Negeri (Suatu Studi Kasus)(Jakarta:CV.Pedoman Ilmu Jaya,1992),hlm.108
[5] Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia(Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993),hlm.266-267
[6] Prof. T.M. Hasby As-Shid , fiqh mawaris (Hukum Waris Islam)
[7] Kompilasi Hukum Islam, Pasal 171 (a)
[8] suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak ayah
[9] suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak ibu
[10] M. Idris Lamulyo, S.H. Hukum Kewarisan Islam, Jakarta, 1984. hal. 8
[11] (Suhardi K Lubis, 1995:37)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar