MAKALAH
ASAS-ASAS MUAMALAH DALAM ISLAM
Oleh :
DIAN
SALAMAH
NANI
SURYANINGSIH
TAMAMI
TUNISYA
FEBY SAFITRI
Jurusan :
EKONOMI
BISNIS SYARIAH
Dosen Pengampu :
TRI SUBHI, M.Pd.I.
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM BAKTI NEGARA
SLAWI
- TEGAL- JAWA TENGAH
2016
ASAS-ASAS
MUAMALAH DALAM ISLAM
I.
PENDAHULUAN
a. Latar
Belakang
Sebagai makhluk sosial, manusia tentu tidak bisa lepas dari kehidupan bermasyarakat, yang
selalu mengadakan kontak dengan manusia lainnya dalam bentuk muamalah.
Muamalah yang kami maksud dalam hal ini adalah
muamalah dalam pengertian khusus, yakni hukum yang mengatur lalu lintas
hubungan antar perorangan atau pihak menyangkut harta, terutama perikatan, dan
jual beli.
b. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah
untuk mengetahui pengertian asas, asas-asas muamalah dalam Islam, serta
bagaimana kebebasan membuat akad dalam Islam.
c. Ruang
Lingkup Pembahasan
Ruang lingkup pembahasan dalam makalah
ini adalah seputar asas-asas muamalah dalam Islam, dalam kehidupan sehari-hari.
II.
PEMBAHASAN
a. Pengertian
asas
|
|
Sehingga
dapat disimpulkan bahwa asas adalah prinsip dasar yang menjadi acuan berfikir
seseorang dalam mengambil keputusan-keputusan yang penting dalam hidupnya.
Sedangkan
asas-asas muamalah meliputi pengertian-pengertian dasar yang dapat dikatakan
sebagai teori-teori yang membentuk hukum muamalah. Asas-asas muamalah ini
berkembang seperti tumbuh dan berkembangnya tubuh manusia.
Dalam
muamalah Islam, ada beberapa asas yang perlu kita ketahui, diantaranya asas
‘adalah, mu’awanah, musyarakah, manfa’ah, antarodhin, adamul gharar, dan lain
sebagainya.
b. Asas
‘Adalah
Asas
‘adalah (keadilan) atau pemerataan adalah penerapan prinsip keadilan dalam
bidang muamalah yang bertujuan agar harta tidak hanya dikuasai oleh segelintir
orang saja, tetapi harus terdistribusikan secara merata di antara masyarakat,
baik kaya maupun miskin. Dengan dasar tujuan ini maka dibuatlah hukum zakat,
shadaqah, infaq, dan sebagainya, disamping dihalalkannya bentuk-bentuk
pemindahan pemilikan harta dengan cara yang sah, seperti : jual-beli,
sewa-menyewa, dan sebagainya.
Asas
ini pun merupakan pelaksanaan firman Allah swt. surat Al-Hasyr (59) ayat 7 yang
menyatakan bahwa harta itu agar tidak hanya beredar di kalangan orang-orang
kaya saja.
|
Artinya : “Apa saja harta rampasan
(fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal
dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya
harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa
yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu,
maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras
hukumannya. “
c. Mu’awanah
Asas
muawanah mewajibkan seluruh muslim untuk tolong menolong dan membuat kemitraan dalam
melakukan muamalah. Yang dimaksud
dengan kemitraan adalah suatu strategi
bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu
untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling
membesarkan.
d. Musyarakah
Asas
Musyarakah menghendaki bahwa setiap bentuk muamalah kerjasama antar pihak yang
saling menguntungkan bukan saja bagi pihak yang terlibat melainkan juga bagi
keseluruhan masyarakat manusia. Oleh karena itu, ada sejumlah harta yang dalam
muamalat diperlakukan sebagai milik bersama dan sama sekali tidak dibenarkan
dimiliki oleh perorangan.
Asas
musyarakah melahirkan dua bentuk pemilikan :
1.
|
2.
Milik bersama atau milik umum yang
disebut hak Allah swt. atau haqqullah. Benda atau harta milik Allah swt. itu
dikuasai oleh pemerintah, seperti : air, udara, dan kandungan bumi, baik
mineral maupun barang tambang lainnya. Bahkan ada harta yang dinyatakan Rasulullah saw.
sebagai harta yang dimiliki oleh seluruh umat manusia, yaitu : air, api, dan
garam.
e. Manfa’ah
Asas
manfa’ah berarti bahwa segala bentuk kegiatan muamalat harus memberikan
keuntungan dan manfaat bersama bagi pihak-pihak yang terlibat. Asas ini
merupakan kelanjutan dari prinsip atta’awun (tolong menolong/gotong royong)
atau mu’awanah (saling percaya) sehingga asas ini bertujuan menciptakan
kerjasama antar individu atau pihak-pihak dalam masyarakat dalam rangka saling
memenuhi keperluannya masing-masing dalam rangka kesejahteraan bersama.
Asas
manfa’ah adalah kelanjutan dari prinsip pemilikan dalam hukum Islam yang
menyatakan bahwa segala yang di langit dan di bumi pada hakikatnya adalah milik
Allah swt. Dengan demikian, manusia sama sekali bukan pemilik yang berhak
sepenuhnya atas harta yang ada di bumi ini, melainkan hanya sebagai pemilik hak
memanfaatkannya. Prinsip hukum tentang pemilikan ini didasarkan atas firman
Allah swt. surat al-Ma’idah ayat 17.
|
Artinya : “Sesungguhnya telah
kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih
putera Maryam". Katakanlah: "Maka siapakah (gerangan) yang dapat
menghalang-halangi kehendak Allah, jika Dia hendak membinasakan Al Masih putera
Maryam itu beserta ibunya dan seluruh orang-orang yang berada di bumi
kesemuanya?". Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang
ada diantara keduanya; Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu.”
f. Antarodhin
Asas
antarodhin atau suka sama suka menyatakan bahwa setiap bentuk muamalat antar
individu atau antar pihak harus berdasarkan kerelaan masing-masing. Kerelaan di
sini dapat berarti kerelaan melakukan suatu bentuk muamalat, maupun kerelaan
dalam arti kerelaan dalam menerima dan atau menyerahkan harta yang dijadikan
obyek perikatan dan bentuk muamalat lainnya. Asas ini didasarkan atas firman
Allah swt. surat al-An’am ayat 152;
Artinya : “Dan janganlah kamu
dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga
sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami
tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. Dan
apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu),
dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar
kamu ingat.”
|
Kemudian di dalam surat al-Baqarah ayat 282
Artinya : “Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di
antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan
hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu),
dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi
sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya
atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka
hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua
orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang
lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi
yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya.
Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil;
dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai
batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih
menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu.
(Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang
kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak
menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis
dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka
sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada
Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
|
g. Adamul
Gharar
Asas
adamul gharar berarti bahwa pada setiap bentuk muamalat tidak boleh ada gharar
atau tipu daya atau sesuatu yang menyebabkan salah satu pihak merasa dirugikan
oleh pihak lainnya sehingga mengakibatkan hilangnya unsur kerelaan salah satu
pihak dalam melakukan suatu transaksi atau perikatan. Asas ini adalah
kelanjutan dari asas ‘an taradin.
h. Kebebasan
Membuat Akad
Kebebasan berakad/kontrak (mabda Hurriyyah at Ta’aqud)
diakui dalam hukum Islam. Kebebasan berakad merupakan prinsip
hukum yang menyatakan bahwa setiap orang dapat membuat akad jenis apapun tanpa
terikat pada nama-nama yang telah ditentukan dalam undang-undang syariah dan
memasukan klausul apa saja ke dalam akad yang dibuatnya itu sesuai dengan
kepentingannya sejauh tidak berakibat makan harta bersama dengan jalan batil.
Nas-nas al-Quran dan Sunnah Nabi Saw –sebaagi otoritas utama sumber hukum
Islam—serta kaidah-kaidah hukum Islam menunjukan bahwa hukum Islam menganut
asas kebebasan berakad. Asas kebebasan ini merupakan konkretisasi labih jauh
dari spesifikasi yang lebih tegas lagi terhadap asas ibahah dalam bermuammalah.
|
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah
aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan
kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu
sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang
dikehendaki-Nya
Ayat
ini memerintahkan kaum mu’minin untuk memenuhi akad-akad. Menurut kaidah ushul
fikih (metodologi penemuan hukum Islam), perintah dalam ayat ini (kata: aufu)
menunjukan wajib. Artinya memenuhi akad itu hukumnya wajib. Dalam ayat ini
“akad” disebutkan dalam bentuk jamak yang diberi kata sandang “al”
(al-aqadàal-uqud). Menurut kaidah usul fikih, jamak yang diberi kata sandang
“al” menunjukan makna umum. Dengan demikian, dari ayat tersebut dapat
disimpulkan bahwa orang dapat membuat akad apa saja baik yang bernama maupun
yang tidak bernama dan akad-akad itu wajib dipenuhi.
Dalam
sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-Hakim dari sahabat Abu Hurairoh, Rasul
bersabda: “orang-orang muslim itu senantiasa setia kepada syarat-syarat
(janji-janji) mereka”. Hadis ini menunjukan bahwa syarat-syarat atau
janji-janji apa saja dapat dibuat dan wajib dipenuhi. Terhadap hadis ini,
al-Kasani (w. 587/1190) memberi penjealsan, bahwa zahir hadis ini menyatakan
wajibnya memenuhi setiap perjanjian selain yang dikecualikan oleh suatu dalil,
karena hadis ini menuntut setiap orang untuk setia kepada janjinya, dan
kesetiaan kepada janjin itu adalah dengan memenuhi janji tersebut…asasnya ialah
bahwa setiap tindakah hukum seseorang terjadi menurut yang ia kehendaki apabila
ia orang yang cakap untuk melakukan tindakan tersebut, objeknya dapat menerima
tindakan dimaksud, dan orang bersangkutan mempunyai kewenangan dalam tindakan
itu.
|
Namun,
kebebasan membuat akad dalam Islam bukannya tidak terbatas. Kebebasan tersebut
tidak boleh menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lain.
Dalam
QS.Al Maidah :29 Allah berfirman :
Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan harta sesamamu dengan
jalan batil, kecuali (jika makan harta sesama itu dilakukan) dengan cara
tukar-menukar berdasarkan perizinan timbal balik (kata sepakat) di antara kamu.
|
Yang
dimaksud dengan “makan harta bersama dengan cara batil” adalah makan harta
orang lain dengan cara yang tidak dibeanrkan dan tidak sah menurut hukum
syari’ah, baik yang dilarang secara langsung di dalam ans maupun berdasarkan
ijtihad atas nas. Secara umum,
dapat dikatakan makan harta dengan jalan batil adalah bertentangan dengan
keteriban umum dan kesusilaan. Hanya saja, ketertiban dan kesusilaan dalam
hukum Islam lebih luas cakupannya, karena mencakup larangan riba, gharar dan
syarat peserta akad yang fasid.
III.
KESIMPULAN
Dari
berbagai penjelasan di atas, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa
Muamalah merupakan ilmu yang mempelajari segala perilaku manusia dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya dengan tujuan memperoleh falah (kedamaian dan kesejahteraan
dunia akhirat). Perilaku manusia di sini berkaitan dengan landasan-landasan
syariah sebagai rujukan berperilaku dan kecenderungan-kecenderungan dari fitrah
manusia. Kedua hal tersebut berinteraksi dengan kedudukannya masing-masing, sehingga terbentuk sebuah mekanisme ekonomi (muamalah)
yang khas dengan dasar-dasar nilai ilahiyah.
|
http://surya-muamalah.blogspot.co.id/2012/10/kebebasan-berakad.html
rabu 9/3/16 jam 22.00
[1]
Malayu S.P Hasibuan,
Manajemen: Dasar, Pengertian, dan Masalah (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2006), 9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar