Senin, 11 April 2016

MAKALAH ASAS-ASAS MUAMALAH DALAM ISLAM





MAKALAH
ASAS-ASAS MUAMALAH DALAM ISLAM



Logo IBN2.jpg
 














Oleh :
DIAN SALAMAH
NANI SURYANINGSIH
TAMAMI
TUNISYA FEBY SAFITRI

Jurusan :
EKONOMI BISNIS SYARIAH

Dosen Pengampu :
TRI SUBHI, M.Pd.I.



SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM BAKTI NEGARA
SLAWI - TEGAL- JAWA TENGAH
2016

ASAS-ASAS MUAMALAH DALAM ISLAM

I.         PENDAHULUAN
a.       Latar Belakang
          Sebagai makhluk sosial, manusia tentu tidak bisa lepas dari kehidupan bermasyarakat, yang selalu mengadakan kontak dengan manusia lainnya dalam bentuk muamalah. Muamalah yang kami maksud dalam hal ini adalah muamalah dalam pengertian khusus, yakni hukum yang mengatur lalu lintas hubungan antar perorangan atau pihak menyangkut harta, terutama perikatan, dan jual beli.

b.      Tujuan
          Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui pengertian asas, asas-asas muamalah dalam Islam, serta bagaimana kebebasan membuat akad dalam Islam.

c.       Ruang Lingkup Pembahasan
          Ruang lingkup pembahasan dalam makalah ini adalah seputar asas-asas muamalah dalam Islam, dalam kehidupan sehari-hari.

II.      PEMBAHASAN
a.       Pengertian asas
1
 
Asas (prinsip) merupakan suatu pernyataan fundamental atau kebenaran umum yang dapat dijadikan pedoman pemikiran dan tindakan. Asas-asas muncul dari hasil penelitian dan tindakan. Asas sifatnya permanen, umum dan setiap ilmu pengetahuan memiliki asas yang mencerminkan “intisari” kebenaran-kebenaran dasar dalam bidang ilmu tersebut.
2
 
Asas adalah dasar tapi bukan suatu yang absolut atau mutlak. artinya penerapan asas harus mempertimbangkan keadaan-keadaan khusus dan keadaan yang berubah-ubah[1]. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, asas adalah dasar (sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa asas adalah prinsip dasar yang menjadi acuan berfikir seseorang dalam mengambil keputusan-keputusan yang penting dalam hidupnya.
Sedangkan asas-asas muamalah meliputi pengertian-pengertian dasar yang dapat dikatakan sebagai teori-teori yang membentuk hukum muamalah. Asas-asas muamalah ini berkembang seperti tumbuh dan berkembangnya tubuh manusia.
Dalam muamalah Islam, ada beberapa asas yang perlu kita ketahui, diantaranya asas ‘adalah, mu’awanah, musyarakah, manfa’ah, antarodhin, adamul gharar, dan lain sebagainya.

b.      Asas ‘Adalah
Asas ‘adalah (keadilan) atau pemerataan adalah penerapan prinsip keadilan dalam bidang muamalah yang bertujuan agar harta tidak hanya dikuasai oleh segelintir orang saja, tetapi harus terdistribusikan secara merata di antara masyarakat, baik kaya maupun miskin. Dengan dasar tujuan ini maka dibuatlah hukum zakat, shadaqah, infaq, dan sebagainya, disamping dihalalkannya bentuk-bentuk pemindahan pemilikan harta dengan cara yang sah, seperti : jual-beli, sewa-menyewa, dan sebagainya.
Asas ini pun merupakan pelaksanaan firman Allah swt. surat Al-Hasyr (59) ayat 7 yang menyatakan bahwa harta itu agar tidak hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja.
3
 
Artinya : “Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya. “

c.       Mu’awanah
Asas muawanah mewajibkan seluruh muslim untuk tolong menolong dan membuat kemitraan dalam melakukan muamalah. Yang dimaksud dengan kemitraan  adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan.

d.      Musyarakah
Asas Musyarakah menghendaki bahwa setiap bentuk muamalah kerjasama antar pihak yang saling menguntungkan bukan saja bagi pihak yang terlibat melainkan juga bagi keseluruhan masyarakat manusia. Oleh karena itu, ada sejumlah harta yang dalam muamalat diperlakukan sebagai milik bersama dan sama sekali tidak dibenarkan dimiliki oleh perorangan.
Asas musyarakah melahirkan dua bentuk pemilikan :
                           1.         
4
 
Milik pribadi atau perorangan (milk adamiy), yakni harta atau benda dan manfaat yang dapat dimiliki secara perorangan.
                           2.          Milik bersama atau milik umum yang disebut hak Allah swt. atau haqqullah. Benda atau harta milik Allah swt. itu dikuasai oleh pemerintah, seperti : air, udara, dan kandungan bumi, baik mineral maupun barang tambang lainnya. Bahkan ada harta yang dinyatakan Rasulullah saw. sebagai harta yang dimiliki oleh seluruh umat manusia, yaitu : air, api, dan garam.

e.       Manfa’ah
Asas manfa’ah berarti bahwa segala bentuk kegiatan muamalat harus memberikan keuntungan dan manfaat bersama bagi pihak-pihak yang terlibat. Asas ini merupakan kelanjutan dari prinsip atta’awun (tolong menolong/gotong royong) atau mu’awanah (saling percaya) sehingga asas ini bertujuan menciptakan kerjasama antar individu atau pihak-pihak dalam masyarakat dalam rangka saling memenuhi keperluannya masing-masing dalam rangka kesejahteraan bersama.
Asas manfa’ah adalah kelanjutan dari prinsip pemilikan dalam hukum Islam yang menyatakan bahwa segala yang di langit dan di bumi pada hakikatnya adalah milik Allah swt. Dengan demikian, manusia sama sekali bukan pemilik yang berhak sepenuhnya atas harta yang ada di bumi ini, melainkan hanya sebagai pemilik hak memanfaatkannya. Prinsip hukum tentang pemilikan ini didasarkan atas firman Allah swt. surat al-Ma’idah ayat 17.
Surat Al-Maidah Ayat 17

5
 
Surat Al-Maidah Ayat 17
Artinya : “Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putera Maryam". Katakanlah: "Maka siapakah (gerangan) yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah, jika Dia hendak membinasakan Al Masih putera Maryam itu beserta ibunya dan seluruh orang-orang yang berada di bumi kesemuanya?". Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya; Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

f.       Antarodhin
Asas antarodhin atau suka sama suka menyatakan bahwa setiap bentuk muamalat antar individu atau antar pihak harus berdasarkan kerelaan masing-masing. Kerelaan di sini dapat berarti kerelaan melakukan suatu bentuk muamalat, maupun kerelaan dalam arti kerelaan dalam menerima dan atau menyerahkan harta yang dijadikan obyek perikatan dan bentuk muamalat lainnya. Asas ini didasarkan atas firman Allah swt. surat al-An’am ayat 152;
Artinya : “Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.”
6
 
 
Kemudian di dalam surat al-Baqarah ayat 282
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
7
 
 
g.      Adamul Gharar
Asas adamul gharar berarti bahwa pada setiap bentuk muamalat tidak boleh ada gharar atau tipu daya atau sesuatu yang menyebabkan salah satu pihak merasa dirugikan oleh pihak lainnya sehingga mengakibatkan hilangnya unsur kerelaan salah satu pihak dalam melakukan suatu transaksi atau perikatan. Asas ini adalah kelanjutan dari asas ‘an taradin.

h.      Kebebasan Membuat Akad
Kebebasan berakad/kontrak (mabda Hurriyyah at Ta’aqud) diakui dalam hukum Islam. Kebebasan berakad merupakan prinsip hukum yang menyatakan bahwa setiap orang dapat membuat akad jenis apapun tanpa terikat pada nama-nama yang telah ditentukan dalam undang-undang syariah dan memasukan klausul apa saja ke dalam akad yang dibuatnya itu sesuai dengan kepentingannya sejauh tidak berakibat makan harta bersama dengan jalan batil. Nas-nas al-Quran dan Sunnah Nabi Saw –sebaagi otoritas utama sumber hukum Islam—serta kaidah-kaidah hukum Islam menunjukan bahwa hukum Islam menganut asas kebebasan berakad. Asas kebebasan ini merupakan konkretisasi labih jauh dari spesifikasi yang lebih tegas lagi terhadap asas ibahah dalam bermuammalah.
8
 
Dalam Firman Allah (QS. Al Maidah :1) :

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya

Ayat ini memerintahkan kaum mu’minin untuk memenuhi akad-akad. Menurut kaidah ushul fikih (metodologi penemuan hukum Islam), perintah dalam ayat ini (kata: aufu) menunjukan wajib. Artinya memenuhi akad itu hukumnya wajib. Dalam ayat ini “akad” disebutkan dalam bentuk jamak yang diberi kata sandang “al” (al-aqadàal-uqud). Menurut kaidah usul fikih, jamak yang diberi kata sandang “al” menunjukan makna umum. Dengan demikian, dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa orang dapat membuat akad apa saja baik yang bernama maupun yang tidak bernama dan akad-akad itu wajib dipenuhi.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-Hakim dari sahabat Abu Hurairoh, Rasul bersabda: “orang-orang muslim itu senantiasa setia kepada syarat-syarat (janji-janji) mereka”. Hadis ini menunjukan bahwa syarat-syarat atau janji-janji apa saja dapat dibuat dan wajib dipenuhi. Terhadap hadis ini, al-Kasani (w. 587/1190) memberi penjealsan, bahwa zahir hadis ini menyatakan wajibnya memenuhi setiap perjanjian selain yang dikecualikan oleh suatu dalil, karena hadis ini menuntut setiap orang untuk setia kepada janjinya, dan kesetiaan kepada janjin itu adalah dengan memenuhi janji tersebut…asasnya ialah bahwa setiap tindakah hukum seseorang terjadi menurut yang ia kehendaki apabila ia orang yang cakap untuk melakukan tindakan tersebut, objeknya dapat menerima tindakan dimaksud, dan orang bersangkutan mempunyai kewenangan dalam tindakan itu.
9
 
Di samping itu, ada kaidah hukum Islam yang berbunyi, “pada asasnya akad itu adalah kesepakatan para pihak dan akibat hukumnya adalah adanya apa yang mereka tetapkan atas diri mereka melalui janji” Kaidah ini menunjukan adanya kebebasan berakad karena perjanjian itu dinyatakan sebagai berdasarkan kata sepakat para pihak dan akibat hukumnya adalah apa yang mereka tetapkan melalui janji.
Namun, kebebasan membuat akad dalam Islam bukannya tidak terbatas. Kebebasan tersebut tidak boleh menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lain.
Dalam QS.Al Maidah :29 Allah berfirman :

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali (jika makan harta sesama itu dilakukan) dengan cara tukar-menukar berdasarkan perizinan timbal balik (kata sepakat) di antara kamu.
10
 
 
Yang dimaksud dengan “makan harta bersama dengan cara batil” adalah makan harta orang lain dengan cara yang tidak dibeanrkan dan tidak sah menurut hukum syari’ah, baik yang dilarang secara langsung di dalam ans maupun berdasarkan ijtihad atas nas. Secara umum, dapat dikatakan makan harta dengan jalan batil adalah bertentangan dengan keteriban umum dan kesusilaan. Hanya saja, ketertiban dan kesusilaan dalam hukum Islam lebih luas cakupannya, karena mencakup larangan riba, gharar dan syarat peserta akad yang fasid.

III.   KESIMPULAN
Dari berbagai penjelasan di atas, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa Muamalah merupakan ilmu yang mempelajari segala perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dengan tujuan memperoleh falah (kedamaian dan kesejahteraan dunia akhirat). Perilaku manusia di sini berkaitan dengan landasan-landasan syariah sebagai rujukan berperilaku dan kecenderungan-kecenderungan dari fitrah manusia. Kedua hal tersebut berinteraksi dengan kedudukannya masing-masing, sehingga terbentuk sebuah mekanisme ekonomi (muamalah) yang khas dengan dasar-dasar nilai ilahiyah.



11
 
Daftar Pustaka





[1] Malayu S.P Hasibuan, Manajemen: Dasar, Pengertian, dan Masalah (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2006), 9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar