MAKALAH
MANAJEMEN
STRATEGIK
“SISTEM NILAI BINIS”
DISUSUN OLEH :
Ø ASMI
SHAUTA QOLBI
Ø DIAN
SALAMAH
Ø NUR
AJIZAH
Ø TUNISYA
FEBBY SAFITRI
DOSEN PENGAMPU :
ALIP TOTO HANDOKO, SE., MM.
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM BAKTI NEGARA
Jln. Jeruk No 9 Slawi Tegal
TAHUN AJARAN 2016/2017
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kegiatan
suatu bisnis secara keseluruhan merupakan rangkaian dari berbagai kelompok
kegiatan bisnis, di mana setiap kelompok kegiatan bisnis tersebut akan terkait
dengan kelompok kegiatan yang lain. Keterkaitan tersebut akan membentuk suatu
mata rantai kegiatan bisnis yang memiliki ketergantungan antara satu kelompok
kegiatan bisnis dengan kelompok yang lain tersebut.
Diversifikasi bagi sebagian pihak dianggap sebagai
suatu langkah yang cukup ‘provokatif’. Alasannya adalah karena dibalik
diversifikasi, terdapat berbagai konsekuensi yang relatif lebih besar bagi
keberlangsungan sebuah perusahaan. Diversifikasi (menyebarkan bidang usaha
menjadi lebih dari satu) akan memunculkan resiko lebih tinggi, baik dalam aspek
pendanaan, manajemen, dan isu-isu krusial lainnya.
Di sinilah manajemen strategis diperlukan karena
perusahaan dituntut untuk berkembang secara terencana dan terukur, sehingga
memerlukan peta perjalanan menghadapi masa depan yang tidak pasti, memerlukan
langkah-langkah strategis, dan perlu mengarahkan kemampuan dan komitmen SDM
untuk mewujudkan tujuan perusahaan.
PEMBAHASAN
A.
TOTAL
SISTEM NILAI BISNIS
Kegiatan
suatu bisnis secara keseluruhan merupakan rangkaian dari berbagai kelompok
kegiatan bisnis, di mana setiap kelompok kegiatan bisnis tersebut akan terkait
dengan kelompok kegiatan yang lain. Keterkaitan tersebut akan membentuk suatu
mata rantai kegiatan bisnis yang memiliki ketergantungan antara satu kelompok
kegiatan bisnis dengan kelompok yang lain tersebut. Misalnya saja dalam suatu
kegiatan bisnis tekstil atau kain, maka dia akan terkait dan tergantung pada
kelompok kegiatan bisnis yang lain yaitu bisnis benang tenun yang merupakan
bahan baku untuk pembuatan kain tekstil tersebut. Selanjutnya bisnis benang
tenun itu akan tergantung lagi pada bisnis kapas sebagai bahan bakunya dan
bisnis kapas akan tergantung lagi dengan bisnis perkebunan kapas dan
seterusnya. Keterkaitan seperti tersebut merupakan keterkaitan yang menuju ke
arah hulu (Industri Hulu). Di samping terkait ke arah hulu, kegiatan bisnis
kain tekstil tadi akan terkait lagi ke arah hilir yaitu dengan bisnis konveksi
yang akan memanfaatkan hasil produksi kain tekstilnya itu sebagai bahan
dasarnya untuk membuat baju, celana, blus, rok, jas, singlet dan sebagainya.
Lebih lanjut lagi bisnis konveksi tersebut akan terkait ke arah Industri yang
lebih Hilir lagi dengan bisnis penyaluran atau pendistribusian produknya kepada
konsumen. Kegiatan bisnis yang terakhir ini merupakan bisnis retailer atau
retail business yang mana bisnis retail inilah yang kemudian langsung
berhubungan atau langsung terkait dengan kegiatan pembelian yang dilakukan oleh
para konsumen akhir.
Setiap
kelompok kegiatan bisnis yang saling terkait satu sama lain tersebut di atas
merupakan suatu unit usaha bisnis atau “Business Unit”, sehingga membentuk
suatu mata rantai “Unit Bisnis” yang saling kait mengkait antara satu dengan
yang lain, bahkan tidak hanya saling terkait akan tetapi bahkan akan saling
tergantung di antara mereka. Setiap Unit Bisnis, apakah itu Unit Bisnis Kain (Tekstil)
tadi, ataukah Unit Bisnis Konveksi, Distribusi dan yang lain-lain tersebut akan
memiliki suatu posisi sendiri yang cukup menentukan dalam mata rantai
keseluruhan kegiatan bisnis tersebut. Oleh karena masing-masing unit bisnis itu
memiliki posisi yang cukup menentukan, maka mereka itu lalu disebut sebagai “Unit
Bisnis Strategik” atau “Strategic Business Unit” yang kemudian
sering dikenal dengan singkatan “SBU”. Setiap SBU akan merupakan suatu
bagian dari total sistem kegiatan bisnis keseluruhan yang saling terkait
tersebut di atas. Dengan demikian dapat kita katakan bahwa keseluruhan mata
rantai kegiatan bisnis tersebut membentuk apa yang disebut sebagai “TOTAL
SISTEM NILAI BISNIS” atau “Total Business Value System”, atau sering
juga disebut “Total Business Value Chain”, untuk suatu cabang industri tertentu
yang dalam hal ini industri tekstil. Bagi cabang-cabang industri yang lain
tentu saja akan terjadi hal yang sama.
B.
DIVERSIFIKASI
USAHA (BISNIS)
Penggambaran
serta uraian yang kita ikuti di atas sebenarnya hanyalah merupakan suatu
penggambaran yang sederhana dari suatu kondisi total nilai bisnis.
Kesederhanaan masalahnya adalah terlihat pada penggambaran bahwa masing-masing
Sistem Nilai Bisnis atau SBU tadi dianggap hanyalah memiliki satu Unit Bisnis
saja, padahal dalam kenyataannya banyak unit bisnis yang telah berkembang dan
masing-masing unit bisnis itu tidak saja hanya memiliki satu unit akan tetapi
memiliki beberapa SBU. Sebagai contoh dalam Subsistem Bisnis Kain, disitu
mereka telah memiliki berbagai SBU Kain Wool, SBU Kain Tetoron, SBU Kain
Korden, SBU Kain Cotton dan sebagainya. Begitu pula pada Subsistem yang lain
mungkin pula telah mengalami perkembangan. Perkembangan unit bisnis yang dilakukannya
itu merupakan suatu proses bisnis yang disebut sebagai proses diversifikasi
usaha atau sering pula disebut sebagai penganekaragaman usaha bisnisnya. Proses
bisnis yang berupa penganekaragaman usaha atau diversifikasi bisnis tersebut
dapat dilakukan terhadap berbagai cabang bisnis baik yang bersifat :
1.
Diversifikasi
Horizontal
Diversifikasi
yang bersifat horizontal adalah suatu penganekaragaman usaha atau bisnis yang
dilakukan terhadap berbagai jenis produk yang memiliki jenjang industri yang
sejajar atau setingkat diantara produk-produk atau usaha yang dianekaragamkan
tersebut.
Sebagai
suatu contoh misalnya saja diversifikasi produk yang dilakukan oleh : Indofood
misalnya, dia memproduksikan berbagai produk yang memiliki hierarki yang sama
atau sejajar dalam industrinya yaitu produk-produk berupa: Mie Instant,
kemudian dia juga memproduksi Kecap, Saus Tomat, dan sebagainya.
2.
Diversifikasi
Vertikal
Diversifikasi
Vertikal adalah diversifikasi yang dilakukan terhadap berbagai produk yang
bergerak kearah industri yang lebih hulu ataupun yang lebih hilir, oleh karena
itulah maka diversifikasi semacam ini lalu disebut sebagai diversifikasi
vertikal. Sebagai gambaran terhadap bentuk diversifikasi vertikal ini dapat
kita tunjukkan beberapa contoh, yaitu : Gramedia yang mengusahakan bisnis
Penerbitan, juga mengoperasikan bisnis Toko Buku.
3.
Diversifikasi
Diagonal
Diversifikasi
diagonal tentu saja mudah kita pahami yaitu penganekaragaman yang dilakukan
terhadap berbagai produk atau usaha yang bersifat menyamping atau horizontal
tetapi terhadap produk-produk yang memiliki hierarki hulu hilir yang berada
pada jenjang yang tidak sama atau tidak sejajar. Dengan demikian maka gerakan
dari diversifikasinya tersebut bersifat menyamping ke arah atas atau ke arah
hulu ataupun ke arah bawah atau ke arah hilir. Contoh yang dapat kita tunjukkan
bagi diversifikasi bentuk diagonal ini ada beberapa macam, salah satunya yaitu
: Yamaha, juga merupakan contoh lain yang mana dia menghasilkan produk sepeda
motor, tetapi juga memproduksi barang-barang elektronika bahkan juga
menghasilkan berbagai produk alat-alat musik.
4.
Diversifikasi
Sirkular
Diversifikasi
ini merupakan bentuk yang paling rumit dan paling beragam dalam melakukan
penganekaragaman produk maupun bisnisnya. Sebagai contoh yang mudah untuk
ditangkap serta mudah diikuti dapat kita tunjukkan beberapa bentuk seperti : Kota
Yogyakarta misalnya, yang berusaha untuk menganekaragamkan usahanya dalam
berbagai jenis usaha serta bisnis yaitu dengan menggunakan tema sebagai : Kota
Wisata, Kota Pelajar, Kota Pendidikan, Kota Gudeg, Kota Budaya dan sebagainya.
C.
SISTEM
NILAI PRODUSEN
Setiap
kegiatan bisnis, seperti telah kita bicarakan di muka, adalah merupakan
pertautan antara mata rantai nilai produsen dengan mata rantai nilai konsumen, baik
konsumen yang tergolong sebagai konsumen industri maupun yang termasuk ke dalam
kelompok konsumen akhir.
Kegiatan
bisnis yang berhasil adalah kegiatan bisnis yang dapat mempertautkan dengan
baik sistem nilai produsen yaitu sistem nilai dari perusahaan itu sendiri
dengan sistem nilai konsumen yang dihadapinya, baik konsumen industri maupun
konsumen akhir. Apabila perusahaan itu gagal dalam mempertautkan antara sistem
nilai dari perusahaannya itu dengan sistem nilai dari konsumennya, maka
pengusaha itu akan segera mengalami kesulitan dalam proses bisnisnya. Kegagalan
tersebut adalah merupakan bukti dari adanya ketidakcocokan antara sistem nilai
dari produsen itu dengan sistem nilai yang dimiliki oleh konsumennya. Dengan
adanya ketidakcocokan tersebut maka produsen akan ditinggalkan oleh konsumennya
atau dengan kata lain konsumen akan meninggalkan perusahaan itu dengan cara
tidak mau membeli produk-produk yang dihasilkan oleh perusahaan itu.
Suatu
perusahaan dalam menjalankan usaha produksi serta bisnisnya memiliki berbagai
kegiatan serta berbagai bagian yang bertugas untuk menjalankan
kegiatan-kegiatan tersebut. Bagian-bagian yang pada umumnya selalu ada di dalam
suatu perusahaan adalah : Bagian Pemasaran, Bagian Keuangan, Bagian Produksi
dan Bagian Akuntansi. Pengaturan terhadap hubungan kerja diantara berbagai
bagian tersebut agar terkoordinir dengan baik, terpadu serta kuat, maka tugas
koordinasi itu akan dilakukan oleh bagian manajemen yang biasanya disebut
Direksi atau Chief Executive Officer (CEO). Selain CEO atau Direksi biasanya
dalam jajaran pimpinan atau manajemen perusahaan terdapat pula suatu badan yang
sering disebut Dewan Komisaris atau “Board of Director” (BOD). Dewan Komisaris
ini merupakan suatu badan yang mewakili para pemegang saham atau para pemilik
perusahaan tersebut.
1.
Kegiatan
Primer (Primary Activity) dan Kegiatan Penunjang (Support Activity)
a.
Faktor
kegiatan Primer (Utama) :
Ø Kegiatan Bagian Produksi
Ø Kegiatan Bagian Keuangan
Ø Kegiatan Bagian Pemasaran
b.
Kegiatan
Sekunder (Penunjang) :
Ø Kegiatan Manajerial
Ø Kegiatan Bagian Personalia
Ø Kegiatan Bagian Administrasi Umum dan Perkantoran
Ø Kegiatan Bagian Teknik
Ø Kegiatan Bagian Akuntansi
Ø Kegiatan Bagian Pengadaan Bahan dan sebagainya
2.
Nilai
Produsen
Sistem
nilai Produsen adalah merupakan berbagai faktor yang saling berkait, yang
membentuk atau menentukan besar kecilnya nilai yang diharapkan akan diperoleh
oleh seorang produsen dalam menghasilkan suatu produk. Sedangkan nilai yang
diharapkan oleh produsen dalam menjalankan kegiatan produksi serta bisnisnya
itu lalu disebut sebagai “Nilai Produsen”.
3.
Loyalitas
Konsumen
Semakin
cocok produk tersebut terhadap kebutuhan serta keinginan konsumen maka semakin
tinggi pula kesediaan konsumen untuk membayar dengan harga yang lebih mahal
terhadap produk yang dibelinya itu. Disamping harga yang lebih tinggi,
efektivitas produk dapat diukur dari loyalitas konsumen terhadap produk yang
kita hasilkan tersebut, semakin loyal berarti semakin efektif tugas yang
dilakukan oleh perusahaan tersebut.
D.
SISTEM
NILAI KONSUMEN INDUSTRI
Konsumen
industri yang memanfaatkan barang yang dibelinya itu untuk menjalankan usaha
atau proses produksinya, dan bukan untuk dipergunakannya untuk dikonsumsi
sebagaimana dilakukan oleh konsumen akhir. Oleh karena itu maka faktor-faktor
yang menjadi pertimbangannya tentulah akan berkaitan dengan berbagai hal
seperti di bawah ini yaitu :
1.
Harga
Pokok Produksi, Harga Pokok Penjualan Dan Harga Jual Produknya
2.
Mutu
Barang Hasil Produksinya
3.
Kelancaran
Proses Produksinya
4.
Kontinuitas
Suplai atau Pasokan Bahan Bakunya
E.
SISTEM
NILAI KONSUMEN AKHIR
Adapun
sistem nilai yang terjadi di dalam sistem nilai konsumen akhir tentu saja
merupakan berbagai nilai yang menjadi pertimbangan para konsumen dalam memilih
dan membeli suatu produk yang dibutuhkan dan diinginkannya sesuai dengan daya
beli ataupun penghasilan yang dimilikinya. Pertimbangan-pertimbangan yang
dipikirkan oleh konsumen pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi 2 aspek
yaitu:
1.
Aspek
Internal
Aspek
internal merupakan aspek yang berasal dari diri pribadi konsumen tersebut
beserta anggota keluarganya. Pertimbangan yang bersifat internal itu tentu saja
berupa pertimbangan yang dilakukannya, baik secara individual maupun
pertimbangan yang berasal dari isteri, anak-anak beserta anggota keluarganya
akan merupakan suatu sistem nilai yang pada umumnya terjadi dalam sebuah rumah
tangga konsumen akhir. Pertimbangan yang terkait dengan aspek individual dari
diri pribadi konsumen tersebut lalu disebut sebagai aspek “Kepribadian” atau
“Personality”. Hal ini sangat ditentukan oleh sifat-sifat yang melekat
pada diri pribadi seseorang. Seorang yang memiliki kepribadian yang “artistik”
misalnya, mereka akan menyenangi produk-produk yang bercorak geometris, lurus-lurus
dan bernuansa wijang, polos dan lugu.
2.
Aspek
Eksternal
Disamping
pertimbangan yang berasal dari anggota keluarganya seringkali terdapat pula
pertimbangan yang datang dari eksternal yaitu datang dari anggota masyarakat
seperti kelompok masyarakat terdekatnya atau teman dekatnya yang sering disebut
“Peers Group” ataupun yang datang dari pemimpin masyarakat yang biasanya lalu
disebut sebagai “Reference Group” atau “Opinion Leadership”.
a.
Peers
Group
Kita
dapat merasakan pada diri kita sendiri bahwa banyak tingkah laku kita serta
banyak pula kita melakukan kegiatan pembelian terhadap suatu produk tertentu
yang disebabkan oleh adanya pengaruh dari teman dekat kita. Proses terjadinya
pengaruh yang timbul dari cerita yang kita tangkap dari berbagai macam teman ini
sering juga disebut proses “word of mouth” atau dalam istilah kita disebut
sebagai “dari mulut ke mulut”.
b.
Reference
Group dan Opinion Leadership
Berbeda
dengan peers group, kita juga sering melakukan tindakan tertentu sebagai akibat
dari pengaruh yang datang dari perbuatan yang kita contoh dari para tokoh
masyarakat kita misalnya Presiden, Gubernur, Wali Kota ataupun pimpinan
perusahaan kita. Tindakan yang dilakukan oleh para tokoh masyarakat itu akan
selalu dijadikan “panutan” dan kemudian akan menjadi semacam penuntun bagi
warga masyarakat banyak untuk mengikuti perilakunya. Tokoh-tokoh semacam itu
lalu disebut sebagai Kelompok Referensi atau “Reference Group”. Tingkah laku
para tokoh masyarakat itu akan selalu menjadi acuan bagi para warga dalam melakukan
berbagai tindakan maupun penggunaan suatu produk tertentu, oleh karena itu maka
proses semacam ini sering pula disebut sebagai “Opinion Leadership”.
c.
Sosial
dan Budaya
Pengaruh
yang lain lagi yang lebih bersifat makro adalah sesuatu yang datang dari anggota
masyarakat sekelilingnya. Unsur ini merupakan faktor sosial kemasyarakatan
serta aspek budaya yang berkembang didalam masyarakat di mana konsumen itu
berada dan bertempat tinggal. Masing-masing masyarakat akan selalu memiliki
kebiasaan-kebiasaan tersendiri yang mana kebiasaan tersebut apabila berlangsung
lama dan menahun maka akan berkembang menjadi budaya atau kultur.
F.
KECOCOKAN
NILAI PRODUSEN DENGAN NILAI KONSUMEN
1.
Kecocokan
dan Nilai Tambah yang Diciptakan
Suatu
produk akan dapat memiliki kecocokan terhadap sistem nilai konsumen apabila
produk tersebut dapat memiliki “Nilai Tambah” atau “Value Added” kepada
konsumennya. Apabila konsumen dapat merasakan bahwa suatu produk yang
ditawarkan kepadanya itu akan memberikan tambahan nilai kepadanya maka produk
tersebut akan dianggap cocok baginya dan akan dibeli serta akan disenanginya.
2.
Pengorbanan
Konsumen
Tinggi
rendahnya benefit suatu produk akan dibandingkan dengan biaya atau uang (money
cost) yang harus dikeluarkannya untuk memiliki produk itu, yaitu harga beli
dari produk tersebut. Bahkan tidak jarang disamping membandingkannya dengan
harga beli produk tersebut konsumen juga akan membandingkan pula benefit dari
produk itu dengan berbagai korban yang lain yang harus ditanggungnya sehubungan
dengan kepemilikan dari produk yang dibelinya tadi.
3.
Loyalitas
dan Fanatisme Konsumen
Loyalitas
konsumen akan membentuk adanya pembelian yang berulang-ulang dari konsumen itu
terhadap produk yang dihasilkan oleh suatu perusahaan. Loyalitas tersebut
apabila dapat dipertahankan dengan baik oleh produsen terhadap konsumennya itu
maka lama kelamaan akan membentuk fanatisme konsumen terhadap produk yang
dihasilkannya itu. Fanatisme konsumen itu akan berakibat positif terhadap
perusahaan yang menghasilkan produknya, karena kondisi semacam itu akan
mengakibatkan adanya perubahan terhadap sifat permintaan akan produk tersebut
dari permintaan yang bersifat “ELASTIS” menjadi permintaan yang bersifat
“INELASTIS”.
4.
Elastisitas
Permintaan
Suatu
permintaan dikatakan memiliki sifat yang elastis apabila jumlah permintaan
tersebut sangat dipengaruhi dan mudah dipengaruhi oleh faktor lain terutama
faktor harga. Semakin kecil elastisitas suatu permintaan terhadap produk akan
membuat produk yang kita pasarkan itu menjadi sangat tidak terpengaruh oleh
naik turunnya harga. Apabila produk kita telah memperoleh loyalitas serta
fanatisme yang tinggi maka pada umumnya hal tersebut akan mengakibatkan adanya
sifat elastisitas terhadap produk kita itu menjadi semakin rendah atau bahkan
menjadi sama sekali tidak terpengaruh oleh perubahan harga.
5.
Nilai
Tambah Konsumen sebagai Profit Margin bagi Produsen
Apabila
produsen dapat memproduksikan suatu barang yang mampu menimbulkan nilai tambah
atau value added yang tinggi kepada konsumen, maka konsumen tersebut akan
bersedia untuk membayar mahal terhadap produk yang dibelinya itu. Hal itu akan
terjadi apabila produk yang dihasilkan dapat memberikan kecocokan kepada
konsumen. Sedangkan kecocokan akan terjadi apabila produk itu dapat memberikan
nilai tambah (value added) kepada konsumen yang berupa technical value maupun
emotional value, melebihi berbagai korban yang harus dikeluarkannya terhadap
produk yang dibelinya itu. Dengan demikian maka produsen akan dapat memperoleh
profit margin yang lebih tinggi sebagai akibat dari harga jual yang tinggi
terhadap produknya yang disebabkan karena produk tersebut ternyata telah mampu
untuk menciptakan nilai tambah yang tinggi bagi konsumennya. Profit margin
tersebut akan dapat menjadi lebih tinggi lagi apabila produsen dalam
menjalankan proses produksi bagi produknya itu dapat bekerja lebih efisien lagi
sehinggga Harga Pokok Produksi (HPP) atau Biaya Produksinya dapat ditekan
menjadi lebih rendah lagi.
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari
keseluruhan mata rantai kegiatan bisnis yang telah dijelaskan maka akan membentuk apa yang disebut sebagai “TOTAL
SISTEM NILAI BISNIS” atau “Total Business Value System”, atau sering
juga disebut “Total Business Value Chain”.
Proses
bisnis yang berupa penganekaragaman usaha atau diversifikasi bisnis tersebut
dapat dilakukan terhadap berbagai cabang bisnis baik yang bersifat :
1.
Diversifikasi
horizontal
2.
Diversivikasi
vertikal
3.
Diversifikasi
diagonal
4.
Diversifikasi
sirkular
Kegiatan
bisnis yang berhasil adalah kegiatan bisnis yang dapat mempertautkan dengan
baik sistem nilai produsen yaitu sistem nilai dari perusahaan itu sendiri
dengan sistem nilai konsumen yang dihadapinya, baik konsumen industri maupun
konsumen akhir.
Adapun
sistem nilai yang terjadi di dalam sistem nilai konsumen akhir tentu saja
merupakan berbagai nilai yang menjadi pertimbangan para konsumen dalam memilih
dan membeli suatu produk yang dibutuhkan dan diinginkannya sesuai dengan daya
beli ataupun penghasilan yang dimilikinya.
DAFTAR PUSTAKA
Gitosudarmo,
Indriyo. 2001. Manajemen Strategis: Cetakan Pertama, Yogyakarta, BPFE.
http://2010manajemenstrategi.blogspot.com/2010/11/manajemen-strategis_13.html?m=1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar