Senin, 11 April 2016

MAKALAH MANAJEMEN STRATEGIK “SISTEM NILAI BINIS”




MAKALAH
MANAJEMEN STRATEGIK
“SISTEM NILAI BINIS”
















DISUSUN OLEH :
Ø  ASMI SHAUTA QOLBI
Ø  DIAN SALAMAH
Ø  NUR AJIZAH
Ø  TUNISYA FEBBY SAFITRI

DOSEN PENGAMPU :
ALIP TOTO HANDOKO, SE., MM.




SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM BAKTI NEGARA
Jln. Jeruk No 9 Slawi Tegal
TAHUN AJARAN 2016/2017
PENDAHULUAN

A.      LATAR BELAKANG
Kegiatan suatu bisnis secara keseluruhan merupakan rangkaian dari berbagai kelompok kegiatan bisnis, di mana setiap kelompok kegiatan bisnis tersebut akan terkait dengan kelompok kegiatan yang lain. Keterkaitan tersebut akan membentuk suatu mata rantai kegiatan bisnis yang memiliki ketergantungan antara satu kelompok kegiatan bisnis dengan kelompok yang lain tersebut.
Diversifikasi bagi sebagian pihak dianggap sebagai suatu langkah yang cukup ‘provokatif’. Alasannya adalah karena dibalik diversifikasi, terdapat berbagai konsekuensi yang relatif lebih besar bagi keberlangsungan sebuah perusahaan. Diversifikasi (menyebarkan bidang usaha menjadi lebih dari satu) akan memunculkan resiko lebih tinggi, baik dalam aspek pendanaan, manajemen, dan isu-isu krusial lainnya.
Di sinilah manajemen strategis diperlukan karena perusahaan dituntut untuk berkembang secara terencana dan terukur, sehingga memerlukan peta perjalanan menghadapi masa depan yang tidak pasti, memerlukan langkah-langkah strategis, dan perlu mengarahkan kemampuan dan komitmen SDM untuk mewujudkan tujuan perusahaan.














PEMBAHASAN

A.      TOTAL SISTEM NILAI BISNIS
Kegiatan suatu bisnis secara keseluruhan merupakan rangkaian dari berbagai kelompok kegiatan bisnis, di mana setiap kelompok kegiatan bisnis tersebut akan terkait dengan kelompok kegiatan yang lain. Keterkaitan tersebut akan membentuk suatu mata rantai kegiatan bisnis yang memiliki ketergantungan antara satu kelompok kegiatan bisnis dengan kelompok yang lain tersebut. Misalnya saja dalam suatu kegiatan bisnis tekstil atau kain, maka dia akan terkait dan tergantung pada kelompok kegiatan bisnis yang lain yaitu bisnis benang tenun yang merupakan bahan baku untuk pembuatan kain tekstil tersebut. Selanjutnya bisnis benang tenun itu akan tergantung lagi pada bisnis kapas sebagai bahan bakunya dan bisnis kapas akan tergantung lagi dengan bisnis perkebunan kapas dan seterusnya. Keterkaitan seperti tersebut merupakan keterkaitan yang menuju ke arah hulu (Industri Hulu). Di samping terkait ke arah hulu, kegiatan bisnis kain tekstil tadi akan terkait lagi ke arah hilir yaitu dengan bisnis konveksi yang akan memanfaatkan hasil produksi kain tekstilnya itu sebagai bahan dasarnya untuk membuat baju, celana, blus, rok, jas, singlet dan sebagainya. Lebih lanjut lagi bisnis konveksi tersebut akan terkait ke arah Industri yang lebih Hilir lagi dengan bisnis penyaluran atau pendistribusian produknya kepada konsumen. Kegiatan bisnis yang terakhir ini merupakan bisnis retailer atau retail business yang mana bisnis retail inilah yang kemudian langsung berhubungan atau langsung terkait dengan kegiatan pembelian yang dilakukan oleh para konsumen akhir.
Setiap kelompok kegiatan bisnis yang saling terkait satu sama lain tersebut di atas merupakan suatu unit usaha bisnis atau “Business Unit”, sehingga membentuk suatu mata rantai “Unit Bisnis” yang saling kait mengkait antara satu dengan yang lain, bahkan tidak hanya saling terkait akan tetapi bahkan akan saling tergantung di antara mereka. Setiap Unit Bisnis, apakah itu Unit Bisnis Kain (Tekstil) tadi, ataukah Unit Bisnis Konveksi, Distribusi dan yang lain-lain tersebut akan memiliki suatu posisi sendiri yang cukup menentukan dalam mata rantai keseluruhan kegiatan bisnis tersebut. Oleh karena masing-masing unit bisnis itu memiliki posisi yang cukup menentukan, maka mereka itu lalu disebut sebagai “Unit Bisnis Strategik” atau “Strategic Business Unit” yang kemudian sering dikenal dengan singkatan “SBU”. Setiap SBU akan merupakan suatu bagian dari total sistem kegiatan bisnis keseluruhan yang saling terkait tersebut di atas. Dengan demikian dapat kita katakan bahwa keseluruhan mata rantai kegiatan bisnis tersebut membentuk apa yang disebut sebagai “TOTAL SISTEM NILAI BISNIS” atau “Total Business Value System”, atau sering juga disebut “Total Business Value Chain”, untuk suatu cabang industri tertentu yang dalam hal ini industri tekstil. Bagi cabang-cabang industri yang lain tentu saja akan terjadi hal yang sama.

B.       DIVERSIFIKASI USAHA (BISNIS)
Penggambaran serta uraian yang kita ikuti di atas sebenarnya hanyalah merupakan suatu penggambaran yang sederhana dari suatu kondisi total nilai bisnis. Kesederhanaan masalahnya adalah terlihat pada penggambaran bahwa masing-masing Sistem Nilai Bisnis atau SBU tadi dianggap hanyalah memiliki satu Unit Bisnis saja, padahal dalam kenyataannya banyak unit bisnis yang telah berkembang dan masing-masing unit bisnis itu tidak saja hanya memiliki satu unit akan tetapi memiliki beberapa SBU. Sebagai contoh dalam Subsistem Bisnis Kain, disitu mereka telah memiliki berbagai SBU Kain Wool, SBU Kain Tetoron, SBU Kain Korden, SBU Kain Cotton dan sebagainya. Begitu pula pada Subsistem yang lain mungkin pula telah mengalami perkembangan. Perkembangan unit bisnis yang dilakukannya itu merupakan suatu proses bisnis yang disebut sebagai proses diversifikasi usaha atau sering pula disebut sebagai penganekaragaman usaha bisnisnya. Proses bisnis yang berupa penganekaragaman usaha atau diversifikasi bisnis tersebut dapat dilakukan terhadap berbagai cabang bisnis baik yang bersifat :
1.      Diversifikasi Horizontal
Diversifikasi yang bersifat horizontal adalah suatu penganekaragaman usaha atau bisnis yang dilakukan terhadap berbagai jenis produk yang memiliki jenjang industri yang sejajar atau setingkat diantara produk-produk atau usaha yang dianekaragamkan tersebut.
Sebagai suatu contoh misalnya saja diversifikasi produk yang dilakukan oleh : Indofood misalnya, dia memproduksikan berbagai produk yang memiliki hierarki yang sama atau sejajar dalam industrinya yaitu produk-produk berupa: Mie Instant, kemudian dia juga memproduksi Kecap, Saus Tomat, dan sebagainya.


2.      Diversifikasi Vertikal
Diversifikasi Vertikal adalah diversifikasi yang dilakukan terhadap berbagai produk yang bergerak kearah industri yang lebih hulu ataupun yang lebih hilir, oleh karena itulah maka diversifikasi semacam ini lalu disebut sebagai diversifikasi vertikal. Sebagai gambaran terhadap bentuk diversifikasi vertikal ini dapat kita tunjukkan beberapa contoh, yaitu : Gramedia yang mengusahakan bisnis Penerbitan, juga mengoperasikan bisnis Toko Buku.
3.      Diversifikasi Diagonal
Diversifikasi diagonal tentu saja mudah kita pahami yaitu penganekaragaman yang dilakukan terhadap berbagai produk atau usaha yang bersifat menyamping atau horizontal tetapi terhadap produk-produk yang memiliki hierarki hulu hilir yang berada pada jenjang yang tidak sama atau tidak sejajar. Dengan demikian maka gerakan dari diversifikasinya tersebut bersifat menyamping ke arah atas atau ke arah hulu ataupun ke arah bawah atau ke arah hilir. Contoh yang dapat kita tunjukkan bagi diversifikasi bentuk diagonal ini ada beberapa macam, salah satunya yaitu : Yamaha, juga merupakan contoh lain yang mana dia menghasilkan produk sepeda motor, tetapi juga memproduksi barang-barang elektronika bahkan juga menghasilkan berbagai produk alat-alat musik.
4.      Diversifikasi Sirkular
Diversifikasi ini merupakan bentuk yang paling rumit dan paling beragam dalam melakukan penganekaragaman produk maupun bisnisnya. Sebagai contoh yang mudah untuk ditangkap serta mudah diikuti dapat kita tunjukkan beberapa bentuk seperti : Kota Yogyakarta misalnya, yang berusaha untuk menganekaragamkan usahanya dalam berbagai jenis usaha serta bisnis yaitu dengan menggunakan tema sebagai : Kota Wisata, Kota Pelajar, Kota Pendidikan, Kota Gudeg, Kota Budaya dan sebagainya.

C.       SISTEM NILAI PRODUSEN
Setiap kegiatan bisnis, seperti telah kita bicarakan di muka, adalah merupakan pertautan antara mata rantai nilai produsen dengan mata rantai nilai konsumen, baik konsumen yang tergolong sebagai konsumen industri maupun yang termasuk ke dalam kelompok konsumen akhir.
Kegiatan bisnis yang berhasil adalah kegiatan bisnis yang dapat mempertautkan dengan baik sistem nilai produsen yaitu sistem nilai dari perusahaan itu sendiri dengan sistem nilai konsumen yang dihadapinya, baik konsumen industri maupun konsumen akhir. Apabila perusahaan itu gagal dalam mempertautkan antara sistem nilai dari perusahaannya itu dengan sistem nilai dari konsumennya, maka pengusaha itu akan segera mengalami kesulitan dalam proses bisnisnya. Kegagalan tersebut adalah merupakan bukti dari adanya ketidakcocokan antara sistem nilai dari produsen itu dengan sistem nilai yang dimiliki oleh konsumennya. Dengan adanya ketidakcocokan tersebut maka produsen akan ditinggalkan oleh konsumennya atau dengan kata lain konsumen akan meninggalkan perusahaan itu dengan cara tidak mau membeli produk-produk yang dihasilkan oleh perusahaan itu.
Suatu perusahaan dalam menjalankan usaha produksi serta bisnisnya memiliki berbagai kegiatan serta berbagai bagian yang bertugas untuk menjalankan kegiatan-kegiatan tersebut. Bagian-bagian yang pada umumnya selalu ada di dalam suatu perusahaan adalah : Bagian Pemasaran, Bagian Keuangan, Bagian Produksi dan Bagian Akuntansi. Pengaturan terhadap hubungan kerja diantara berbagai bagian tersebut agar terkoordinir dengan baik, terpadu serta kuat, maka tugas koordinasi itu akan dilakukan oleh bagian manajemen yang biasanya disebut Direksi atau Chief Executive Officer (CEO). Selain CEO atau Direksi biasanya dalam jajaran pimpinan atau manajemen perusahaan terdapat pula suatu badan yang sering disebut Dewan Komisaris atau “Board of Director” (BOD). Dewan Komisaris ini merupakan suatu badan yang mewakili para pemegang saham atau para pemilik perusahaan tersebut.
1.      Kegiatan Primer (Primary Activity) dan Kegiatan Penunjang (Support Activity)
a.       Faktor kegiatan Primer (Utama) :
Ø  Kegiatan Bagian Produksi
Ø  Kegiatan Bagian Keuangan
Ø  Kegiatan Bagian Pemasaran
b.      Kegiatan Sekunder (Penunjang) :
Ø  Kegiatan Manajerial
Ø  Kegiatan Bagian Personalia
Ø  Kegiatan Bagian Administrasi Umum dan Perkantoran
Ø  Kegiatan Bagian Teknik
Ø  Kegiatan Bagian Akuntansi
Ø  Kegiatan Bagian Pengadaan Bahan dan sebagainya


2.      Nilai Produsen
Sistem nilai Produsen adalah merupakan berbagai faktor yang saling berkait, yang membentuk atau menentukan besar kecilnya nilai yang diharapkan akan diperoleh oleh seorang produsen dalam menghasilkan suatu produk. Sedangkan nilai yang diharapkan oleh produsen dalam menjalankan kegiatan produksi serta bisnisnya itu lalu disebut sebagai “Nilai Produsen”.
3.      Loyalitas Konsumen
Semakin cocok produk tersebut terhadap kebutuhan serta keinginan konsumen maka semakin tinggi pula kesediaan konsumen untuk membayar dengan harga yang lebih mahal terhadap produk yang dibelinya itu. Disamping harga yang lebih tinggi, efektivitas produk dapat diukur dari loyalitas konsumen terhadap produk yang kita hasilkan tersebut, semakin loyal berarti semakin efektif tugas yang dilakukan oleh perusahaan tersebut.

D.      SISTEM NILAI KONSUMEN INDUSTRI
Konsumen industri yang memanfaatkan barang yang dibelinya itu untuk menjalankan usaha atau proses produksinya, dan bukan untuk dipergunakannya untuk dikonsumsi sebagaimana dilakukan oleh konsumen akhir. Oleh karena itu maka faktor-faktor yang menjadi pertimbangannya tentulah akan berkaitan dengan berbagai hal seperti di bawah ini yaitu :
1.      Harga Pokok Produksi, Harga Pokok Penjualan Dan Harga Jual Produknya
2.      Mutu Barang Hasil Produksinya
3.      Kelancaran Proses Produksinya
4.      Kontinuitas Suplai atau Pasokan Bahan Bakunya

E.       SISTEM NILAI KONSUMEN AKHIR
Adapun sistem nilai yang terjadi di dalam sistem nilai konsumen akhir tentu saja merupakan berbagai nilai yang menjadi pertimbangan para konsumen dalam memilih dan membeli suatu produk yang dibutuhkan dan diinginkannya sesuai dengan daya beli ataupun penghasilan yang dimilikinya. Pertimbangan-pertimbangan yang dipikirkan oleh konsumen pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi 2 aspek yaitu:
1.      Aspek Internal
Aspek internal merupakan aspek yang berasal dari diri pribadi konsumen tersebut beserta anggota keluarganya. Pertimbangan yang bersifat internal itu tentu saja berupa pertimbangan yang dilakukannya, baik secara individual maupun pertimbangan yang berasal dari isteri, anak-anak beserta anggota keluarganya akan merupakan suatu sistem nilai yang pada umumnya terjadi dalam sebuah rumah tangga konsumen akhir. Pertimbangan yang terkait dengan aspek individual dari diri pribadi konsumen tersebut lalu disebut sebagai aspek “Kepribadian” atau “Personality”. Hal ini sangat ditentukan oleh sifat-sifat yang melekat pada diri pribadi seseorang. Seorang yang memiliki kepribadian yang “artistik” misalnya, mereka akan menyenangi produk-produk yang bercorak geometris, lurus-lurus dan bernuansa wijang, polos dan lugu.
2.      Aspek Eksternal
Disamping pertimbangan yang berasal dari anggota keluarganya seringkali terdapat pula pertimbangan yang datang dari eksternal yaitu datang dari anggota masyarakat seperti kelompok masyarakat terdekatnya atau teman dekatnya yang sering disebut “Peers Group” ataupun yang datang dari pemimpin masyarakat yang biasanya lalu disebut sebagai “Reference Group” atau “Opinion Leadership”.
a.       Peers Group
Kita dapat merasakan pada diri kita sendiri bahwa banyak tingkah laku kita serta banyak pula kita melakukan kegiatan pembelian terhadap suatu produk tertentu yang disebabkan oleh adanya pengaruh dari teman dekat kita. Proses terjadinya pengaruh yang timbul dari cerita yang kita tangkap dari berbagai macam teman ini sering juga disebut proses “word of mouth” atau dalam istilah kita disebut sebagai “dari mulut ke mulut”.
b.      Reference Group dan Opinion Leadership
Berbeda dengan peers group, kita juga sering melakukan tindakan tertentu sebagai akibat dari pengaruh yang datang dari perbuatan yang kita contoh dari para tokoh masyarakat kita misalnya Presiden, Gubernur, Wali Kota ataupun pimpinan perusahaan kita. Tindakan yang dilakukan oleh para tokoh masyarakat itu akan selalu dijadikan “panutan” dan kemudian akan menjadi semacam penuntun bagi warga masyarakat banyak untuk mengikuti perilakunya. Tokoh-tokoh semacam itu lalu disebut sebagai Kelompok Referensi atau “Reference Group”. Tingkah laku para tokoh masyarakat itu akan selalu menjadi acuan bagi para warga dalam melakukan berbagai tindakan maupun penggunaan suatu produk tertentu, oleh karena itu maka proses semacam ini sering pula disebut sebagai “Opinion Leadership”.
c.       Sosial dan Budaya
Pengaruh yang lain lagi yang lebih bersifat makro adalah sesuatu yang datang dari anggota masyarakat sekelilingnya. Unsur ini merupakan faktor sosial kemasyarakatan serta aspek budaya yang berkembang didalam masyarakat di mana konsumen itu berada dan bertempat tinggal. Masing-masing masyarakat akan selalu memiliki kebiasaan-kebiasaan tersendiri yang mana kebiasaan tersebut apabila berlangsung lama dan menahun maka akan berkembang menjadi budaya atau kultur.

F.        KECOCOKAN NILAI PRODUSEN DENGAN NILAI KONSUMEN
1.      Kecocokan dan Nilai Tambah yang Diciptakan
Suatu produk akan dapat memiliki kecocokan terhadap sistem nilai konsumen apabila produk tersebut dapat memiliki “Nilai Tambah” atau “Value Added” kepada konsumennya. Apabila konsumen dapat merasakan bahwa suatu produk yang ditawarkan kepadanya itu akan memberikan tambahan nilai kepadanya maka produk tersebut akan dianggap cocok baginya dan akan dibeli serta akan disenanginya.
2.      Pengorbanan Konsumen
Tinggi rendahnya benefit suatu produk akan dibandingkan dengan biaya atau uang (money cost) yang harus dikeluarkannya untuk memiliki produk itu, yaitu harga beli dari produk tersebut. Bahkan tidak jarang disamping membandingkannya dengan harga beli produk tersebut konsumen juga akan membandingkan pula benefit dari produk itu dengan berbagai korban yang lain yang harus ditanggungnya sehubungan dengan kepemilikan dari produk yang dibelinya tadi.
3.      Loyalitas dan Fanatisme Konsumen
Loyalitas konsumen akan membentuk adanya pembelian yang berulang-ulang dari konsumen itu terhadap produk yang dihasilkan oleh suatu perusahaan. Loyalitas tersebut apabila dapat dipertahankan dengan baik oleh produsen terhadap konsumennya itu maka lama kelamaan akan membentuk fanatisme konsumen terhadap produk yang dihasilkannya itu. Fanatisme konsumen itu akan berakibat positif terhadap perusahaan yang menghasilkan produknya, karena kondisi semacam itu akan mengakibatkan adanya perubahan terhadap sifat permintaan akan produk tersebut dari permintaan yang bersifat “ELASTIS” menjadi permintaan yang bersifat “INELASTIS”.
4.      Elastisitas Permintaan
Suatu permintaan dikatakan memiliki sifat yang elastis apabila jumlah permintaan tersebut sangat dipengaruhi dan mudah dipengaruhi oleh faktor lain terutama faktor harga. Semakin kecil elastisitas suatu permintaan terhadap produk akan membuat produk yang kita pasarkan itu menjadi sangat tidak terpengaruh oleh naik turunnya harga. Apabila produk kita telah memperoleh loyalitas serta fanatisme yang tinggi maka pada umumnya hal tersebut akan mengakibatkan adanya sifat elastisitas terhadap produk kita itu menjadi semakin rendah atau bahkan menjadi sama sekali tidak terpengaruh oleh perubahan harga.
5.      Nilai Tambah Konsumen sebagai Profit Margin bagi Produsen
Apabila produsen dapat memproduksikan suatu barang yang mampu menimbulkan nilai tambah atau value added yang tinggi kepada konsumen, maka konsumen tersebut akan bersedia untuk membayar mahal terhadap produk yang dibelinya itu. Hal itu akan terjadi apabila produk yang dihasilkan dapat memberikan kecocokan kepada konsumen. Sedangkan kecocokan akan terjadi apabila produk itu dapat memberikan nilai tambah (value added) kepada konsumen yang berupa technical value maupun emotional value, melebihi berbagai korban yang harus dikeluarkannya terhadap produk yang dibelinya itu. Dengan demikian maka produsen akan dapat memperoleh profit margin yang lebih tinggi sebagai akibat dari harga jual yang tinggi terhadap produknya yang disebabkan karena produk tersebut ternyata telah mampu untuk menciptakan nilai tambah yang tinggi bagi konsumennya. Profit margin tersebut akan dapat menjadi lebih tinggi lagi apabila produsen dalam menjalankan proses produksi bagi produknya itu dapat bekerja lebih efisien lagi sehinggga Harga Pokok Produksi (HPP) atau Biaya Produksinya dapat ditekan menjadi lebih rendah lagi.








PENUTUP

A.      KESIMPULAN
Dari keseluruhan mata rantai kegiatan bisnis yang telah dijelaskan maka akan  membentuk apa yang disebut sebagai “TOTAL SISTEM NILAI BISNIS” atau “Total Business Value System”, atau sering juga disebut “Total Business Value Chain”.
Proses bisnis yang berupa penganekaragaman usaha atau diversifikasi bisnis tersebut dapat dilakukan terhadap berbagai cabang bisnis baik yang bersifat :
1.      Diversifikasi horizontal
2.      Diversivikasi vertikal
3.      Diversifikasi diagonal
4.      Diversifikasi sirkular
Kegiatan bisnis yang berhasil adalah kegiatan bisnis yang dapat mempertautkan dengan baik sistem nilai produsen yaitu sistem nilai dari perusahaan itu sendiri dengan sistem nilai konsumen yang dihadapinya, baik konsumen industri maupun konsumen akhir.
Adapun sistem nilai yang terjadi di dalam sistem nilai konsumen akhir tentu saja merupakan berbagai nilai yang menjadi pertimbangan para konsumen dalam memilih dan membeli suatu produk yang dibutuhkan dan diinginkannya sesuai dengan daya beli ataupun penghasilan yang dimilikinya.













DAFTAR PUSTAKA

Gitosudarmo, Indriyo. 2001. Manajemen Strategis: Cetakan Pertama, Yogyakarta, BPFE.
http://2010manajemenstrategi.blogspot.com/2010/11/manajemen-strategis_13.html?m=1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar