MAKALAH
MUAWADAT AL
MALIYAH
“KEPEMILIKAN DALAM ISLAM”
DISUSUN OLEH :
Ø ASMI
SHAUTA QOLBI
Ø IZZAH
ARIYANI
Ø SOFIYATUN
DOSEN PENGAMPU :
TRI SUBHI, M.Pd.I
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM BAKTI NEGARA
Jln. Jeruk No 9 Slawi Tegal
TAHUN AJARAN 2016/2017
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Konsepsi tentang hak milik merupakan
fondasi yang penting dalam sistem ekonomi. Ekonomi konvensional memiliki
pandangan bahwa manusia adalah pemilik mutlak seluruh sumber daya, sehingga
manusia bebas memanfaatkannya sesuai dengan keinginannya. Akan tetapi,
kapitalisme lebih menghargai kepemilikan individu dan dari hak pada milik
sosial, sedangkan sosialisme mengutamakan hak milik sosial dan meniadakan hak
milik individu.
Islam memiliki pandangan yang khas
tentang hak milik, sebab ia dikolaborasi dari Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dalam
pandangan Islam pemilik mutlak seluruh alam semesta adalah Allah sedangkan
manusia adalah pemilik relative. Kepemilikan manusia terikat dengan aturan
Allah, ia hanya bertugas untuk melaksanakan perintah Allah. Kesadaran bahwa
kepemilikan manusia atas sumber daya akan dipertanggungjawabkan kepada Allah
diakhirat yang akan mendorong manusia untuk berhati-hati untuk mengelola hak
milik. Secara umum dapat dikatakan bahwa Islam memberikan kedudukan yang
proporsional antara hak milik individu, hak milik kolektif (umum) dan hak milik
negara.
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN MILIK
"Kepemilikan"
sebenarnya berasal dari bahasa Arab dari akar kata "malaka" yang
artinya memiliki. Dalam bahasa Arab "milk" berarti kepenguasaan orang
terhadap sesuatu (barang atau harta) dan barang tersebut dalam genggamannya
baik secara riil maupun secara hukum. Dimensi kepenguasaan ini direfleksikan
dalam bentuk bahwa orang yang memiliki sesuatu barang berarti mempunyai
kekuasaan terhadap barang tersebut sehingga ia dapat mempergunakannya menurut
kehendaknya dan tidak ada orang lain, baik itu secara individual maupun
kelembagaan, yang dapat menghalang-halanginya dari memanfaatkan barang yang
dimilikinya itu. Contohnya Ahmad memiliki sepeda motor. Ini berarti bahwa
sepeda motor itu dalam kekuasaan dan genggaman Ahmad. Dia bebas untuk
memanfaatkannya dan orang lain tidak boleh menghalanginya dan merintanginya
dalam menikmati sepeda motornya.
Para fukoha
memberikan batasan-batasan syar'i "kepemilikan" dengan berbagai
ungkapan yang memiliki inti pengertian yang sama. Di antara yang paling
terkenal adalah definisi kepemilikan yang mengatakan bahwa "milik"
adalah hubungan khusus seseorang dengan sesuatu (barang) di mana orang lain
terhalang untuk memasuki hubungan ini dan si empunya berkuasa untuk
memanfaatkannya selama tidak ada hambatan legal yang menghalanginya.
Batasan teknis
ini dapat digambarkan sebagai berikut. Ketika ada orang yang mendapatkan suatu
barang atau harta melalui caara-cara yang dibenarkan oleh syara', maka
terjadilah suatu hubungan khusus antara barang tersebut dengan orang yang
memperolehnya. Hubungan khusus yang dimiliki oleh orang yang memperoleh barang
(harta) ini memungkinkannya untuk menikmati manfaatnya dan mempergunakannya
sesuai dengan keinginannya selama ia tidak terhalang hambatan-hambatan syar'i
seperti gila, sakit ingatan, hilang akal, atau
masih terlalu kecil sehingga belum paham memanfaatkan barang.
B. JENIS-JENIS KEPEMILIKAN
Konsep dasar kepemilikan dalam
Islam adalah firman Allah SWT
لِلَّهِ
مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ
“Milik Allah-lah segala sesuatu yang ada di langit dan bumi.”
(QS Al-Baqarah: 284)
Sebelumnya perlu diterangkan di sini
bahwa konsep Islam tentang kepemilikan memiliki karakteristik unik yang tidak
ada pada sistem ekonomi yang lain. Kepemilikan dalam Islam
bersifat nisbi atau terikat dan bukan mutlak atau absolut. Pengertian nisbi di
sini mengacu kepada kenyataan bahwa apa yang dimiliki manusia pada hakekatnya
bukanlah kepemilikan yang sebenarnya (genuine, real) sebab, dalam konsep Islam,
yang memiliki segala sesuatu di dunia ini hanyalah Allah SWT, Dialah Pemilik
Tunggal jagat raya dengan segala isinya yang sebenarnya. Apa yang kini dimiliki
oleh manusia pada hakekatnya adalah milik Allah yang untuk sementara waktu
"diberikan" atau "dititipkan" kepada mereka, sedangkan
pemilik riil tetap Allah SWT. Karena itu dalam konsep Islam, harta dan kekayaan
yang dimiliki oleh setiap Muslim mengandung konotasi amanah. Dalam konteks ini
hubungan khusus yang terjalin antara barang dan pemiliknya tetap melahirkan
dimensi kepenguasaan, kontrol dan kebebasan untuk memanfaatkan dan
mempergunakannya sesuai dengan kehendaknya namun pemanfaatan dan penggunaan itu
tunduk kepada aturan main yang ditentukan oleh Pemilik riil. Kesan ini dapat
kita tangkap umpamanya dalam kewajiban mengeluarkan zakat (yang bersifat wajib)
dan imbauan untuk berinfak, sedekah dan menyantuni orang-orang yang
membutuhkan.
Para fukoha
membagi jenis-jenis kepemilikan menjadi dua yaitu kepemilikan sempurna (tamm)
dan kepemilikan kurang (naaqis). Dua jenis kepemilikan ini mengacu kepada
kenyataan bahwa manusia dalam kapasitasnya sebagai pemilik suatu barang dapat
mempergunakan dan memanfaatkan susbstansinya saja, atau nilai gunanya saja atau
kedua-duanya. Kepemilikan sempurna adalah kepemilikan seseorang terhadap barang
dan juga manfaatnya sekaligus. Sedangkan kepemilikan kurang adalah yang hanya
memiliki substansinya saja atau manfaatnya saja. Kedua-dua jenis kepemilikan
ini akan memiliki konsekuensi syara' yang berbeda-beda ketika memasuki kontrak
muamalah seperti jual beli, sewa, pinjam-meminjam dan lain-lain.
C. PEMBAGIAN KEPEMILIKAN
Dalam hal kepemilikan, Islam memiliki
pandangan yang khas, yang berbeda dengan ekonomi kapitalisme maupun sosialisme.
Islam menolak adanya pembatasan absolute (sosialisme) maupun pembebasan
absolute (kapitalisme). Islam memberikan kebebasan kepada individu untuk
memiliki, namun tetap dengan batasan-batasan tertentu. Kepemilikan terbagi atas
tiga macam:
1. Kepemilikan Individu (Al-Milkiyah
Fardiyah)
An-Nabhani (1990) menyatakan bahwa
sebab-sebab kepemilikan individu (asbabu at-tammaluk) terbatas pada lima
hal berikut ini:
a. Bekerja (Al-Amal)
Kewajiban bekerja dapat kita jumpai
tuntunanya dalam banyak dalil Al-qur’an maupun As-sunnah. Bukan besar kecilnya upah atau
tinggi rendahnya jabatan yang menjadi ukuran baik buruknya mata pencaharian,
melainkan halal haramnya lah yang menjadi patokan. Suatu hari Rasulullah
ditanya oleh seorang sahabat: “Mata pencaharian apakah yang paling baik?”
Beliau menjawab: “Bekerja dengan tangan sendiri dan jual-beli yang bersih” (HR.
Al-Bazzar)
b. Warisan (Al-Irts)
Hukum pembagian warisan telah secara
jelas diterangkan Allah melalui firman Nya: “Allah mensyari’atkan kepadamu
tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu ...” (Q.S. An-Nisa [4]:11-12)
c. Kebutuhan harta untuk mempertahankan
hidup
Dalam Islam, setiap individu harus
terpenuhi kebutuhan pokoknya (hajat al-udhawiyah) dalam rangka
mempertahankan keberlangsungan hidupnya, dan hal ini menjadi kewajiban atas waliul
amri (pemerintah) untuk memfasilitasinya melalui mekanisme bertahap.
Rasulullah SAW meneladankannya ketika
memberikan dua dirham kepada seseorang, kemudian beliau berkata kepadanya:
“makanlah dengan satu dirham, sisanya belikanlah kapak, lalu gunakanlah untuk
bekerja.”
d. Pemberian negara (I’thau Al-Daulah)
Hal ini dapat berupa tanah pertanian,
modal, ataupun barang yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat.
e. Harta yang diperoleh individu tanpa
mengeluarkan harta atau tenaga apapun
2. Kepemilikan Umum (Al-Milkiyah Amah)
Islam tidak
menghendaki kepincangan antara hak individu pemilik dengan hak masyarakat lain. Sehingga, benda-benda yang termasuk
dalam kategori ini tidak boleh hanya dikuasai oleh segelintir orang, melainkan
haruslah dikelola dan dimanfaatkan oleh pemerintah demi kepentingan masyarakat
umum. Public property ini haram hukumnya untuk diprivatisasi sehingga
pemerintah tidak boleh menjualnya kepada siapapun, termasuk kepada para pemilik
modal. Kepemilikan umum ini terbagi menjadi tiga macam:
a. Fasilitas Umum
Rasulullah SAW bersabda: “Kaum muslimin
berserikat dalam tiga barang, yaitu air, padang rumput, dan api.” (HR. Ibnu
Majah)
Anas ra meriwayatkan hadits dari lbnu
Abbas ra. tersebut dengan menambahkan : Wa tsamanuhu haram (dan harganya
haram), yang berarti dilarang untuk diperjualbelikan.
b. Barang-barang yang tabiat (sifat)
kepemilikan & pembentukannya menghalangi untuk dimiliki oleh individu,
seperti sungai, danau, jalan, lautan, udara, masjid, dsb.
c. Barang tambang dalam jumlah besar
Imam At-Tirmidzi meriwayatkan hadits dari
Abyadh bin Hamal, bahwa ia telah meminta kepada Rasulullah saw untuk dibolehkan
mengelola tambang garamnya. Lalu Rasulullah saw membolehkannnya. Setelah ia
pergi, ada seorang laki-laki dari majelis tersebut bertanya: “Wahai Rasulullah,
tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah
memberikan sesuatu bagaikan air yang mengalir.” Rasulullah saw kemudian
bersabda : “Tariklah tambang tersebut darinya” (HR. At-Tirmidzi).
3. Kepemilikan Negara (Al-Milkiyah Daulah)
Dalam hal ini, negara berhak memanfaatkan
atau memberikannya kepada masyarakat sesuai dengan kebijakan negara dalam
rangka menunaikan kewajiban-kewajiban negara seperti menggaji pelayan
kesehatan, menggaji pendidik, menggaji pegawai negara, keperluan jihad, dan
sebagainya. Sumber dari state property ini dapat berupa ghanimah,
fai, khumus, kharaj, jiziah seperlima harta rikaz, usyur, harta
orang murtad, harta orang yang tidak memiliki waris, dan tanah tak bertuan.
Aturan-aturan Islam tentang kepemilikan harta ini semakin menunjukkan
bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan menyempurnakan. Islam mengakomodir
fitrah manusia atas keinginannya untuk memiliki sesuatu. Islam tidak
mengharamkannya, melainkan membebaskannya dengan batasan-batasan tertentu. Hal
ini dikarenakan, Islam selalu mementingkan kepentingan umum diatas
kepentingan individu, karena kepentingan umum merupakan kepentingan yang
menyangkut kehidupan orang banyak. Dan tentunya, konsep harmonisasi ajaran dari langit ini lebih baik
dibandingankan konsep kapitalisme maupun sosialisme.
D. SEBAB-SEBAB KEPEMILIKAN
Syarat – syarat kepemilikan
1. Benda itu tidak dikuasai orang lain lebih
dahulu
2. Maksud tamalluk (untuk memiliki)
Sebab – sebab tamalluk (memiliki) yang ditetapkan syara’
ada empat, yaitu :
1. Ihrazul Mubahat
Ihrozul mubahat adalah memiliki sesuatu (benda)
yang menurut syara’ boleh dimiliki. Yang dimaksud dengan barang-barang yang
diperbolehkan di sini adalah barang (dapat juga berupa harta atau kekayaan)
yang belum dimiliki oleh seseorang dan tidak ada larangan syara’ untuk dimiliki
seperti air di sumbernya, rumput di padangnya, kayu dan pohon-pohon di
belantara atau ikan di sungai dan di laut.
2. Al
Uqud (Aqad)
Akad berasal dari bahasa arab yang
artinya perjanjian atau persetujuan. Kata ini juga bisa diartikan tali yang
mengikat karena akan adanya ikatan antara orang yang berakad.
a. Rukun dan Syarat Akad
1) Aqid (Orang yang melakukan Akad)
2) Ma'qud ‘Alaih (benda yang menjadi objek
transaksi)
3) Shighat, yaitu Ijab dan Qobul (Ijab Qobul
merupakan ungkapan yang menunjukkan kerelaan atau kesepakatan dua pihak yang melakukan
akad)
b. Macam macam Akad
Diantara macam macam akad adalah :
1) Berdasarkan segi sah tidaknya, Akad ada
dua macam :
Ø
Akad shahih, akad yang memenuhi unsur dan syarat
yang ditetapkan oleh syara’.
Ø
Akad tidak shahih ( Fasidah), akad yang cacat /
tidak sempurna.
2) Berdasarkan segi ditetapkan atau tidaknya
oleh syara’ :
Ø
Akad musamah , yaitu akad yang telah ditetapkan syara'
dan telah ada hukum-hukumnya, seperti jual beli, hibah, dan ijarah.
Ø
Ghair musamah yaitu akad yang belum ditetapkan oleh
syara' dan belum ditetapkan.
3) Berdasarkan zat benda yang diakadkan :
Ø
Benda yang berwujud
Ø
Benda tidak berwujud
4) Berdasarkan disyariatkan atau tidaknya
akad :
Ø
Akad musyara'ah ialah akad-akad yang debenarkan
syara' seperti gadai dan jual beli.
Ø
Akad mamnu'ah ialah akad-akad yang dilarang syara'
seperti menjual anak kambing dalam perut ibunya.
5) Berdasarkan sifat benda yang menjadi
objek dalam akad :
Ø
Akad ainniyah ialah akad yang disyaratkan dengan
penyerahan barang seperti jual beli.
Ø
Akad ghair ‘ainiyah ialah akad yang tidak disertai dengan
penyerahan barang-barang karena tanpa penyerahan barangpun akad sudah sah.
6) Berdasarkan cara melakukannya :
Ø
Akad yang harus dilaksanakan dengan upacara tertentu
seperti akad pernikahan dihadiri oleh dua saksi, wali, dan petugas pencatat
nikah.
Ø
Akad ridhaiyah ialah akad yang dilakukan tanpa
upacara tertentu dan terjadi karena keridhaan dua belah pihak seperti akad-akad
pada umumnya.
7) Berdasarkan tukar menukar hak :
Ø
Akad mu'awadhah, yaitu akad yang berlaku atas dasar
timbal balik seperti akad jual beli
Ø
Akad tabarru'at, yaitu akad-akad yang berlaku atas
dasar pemberian dan pertolongan seperti akad hibah.
Ø
Akad yang tabaru'at pada awalnya namun menjadi akad
mu'awadhah pada akhirnya seperti akad qarad dan kafalah
8) Berdasarkan harus diganti dan tidaknya
Ø
Akad dhaman , yaitu akad yang menjadi tanggung jawab
pihak kedua setelah benda-benda akad diterima seperti qarad.
Ø
Akad amanah , yaitu tanggung jawab kerusakan oleh
pemilik benda bukan, bukan oleh yang memegang benda, seperti titipan.
Ø
Akad yang dipengaruhi oleh beberapa unsur, salah
satu seginya adalah dhaman dan segi yang lain merupakan amanah, seperti rahn.
9) Berdasarkan tujuan akad
Ø
Tamlik: seperti jual beli
Ø
mengadakan usaha bersama seperti syirkah dan
mudharabah
Ø
tautsiq (memperkokoh kepercayaan) seperti rahn dan
kafalah
Ø
menyerahkan kekuasaan seperti wakalah dan washiyah
Ø
mengadakan pemeliharaan seperti ida' atau titipan
10) Berdasarkan faur dan istimrar
Ø
Akad fauriyah , yaitu akad-akad yang tidak memerlukan
waktu yang lama, pelaksaaan akad hanya sebentar saja seperti jual beli.
Ø
Akad istimrar atau zamaniyah , yaitu hukum akad terus berjalan,
seperti I'arah
11) Berdasarkan asliyah dan tabi'iyah
Ø
Akad asliyah yaitu akad yang berdiri sendiri tanpa
memerlukan adanya sesuatu yang lain seperti jual beli dan I'arah.
Ø
Akad tahi'iyah , yaitu akad yang membutuhkan adanya yang
lain, seperti akad rahn tidak akan dilakukan tanpa adanya hutang.
c. Hikmah Akad
1) Adanya ikatan yang kuat diantara dua
orang atau lebih didalam bertransaksi atau memiliki sesuatu
2) Tidak bisa sembarangan dalam membatalkan
sesuatu ikatan perjanjian, karena telah diatur secara syar’i
3) Akad merupakan payung hukum didalam
kepemilikan sesuatu, sehingga pihak lain tidak bisa menggugat atau memilikinya.
3. Al - Khalafiyah (Pewarisan)
Khalafiyah artinya pewarisan. Khalafiyah
ada dua macam yaitu :
a. Khalafiyah Syakhsyun ‘an Syakhsyin
(Warisan)
b. Khalafiyah Syaa’in ‘an syaa’iin (Menjamin
kerugian)
4. Ihya’u Mawat Al-ardh
a. Pengertian Ihya’u Mawat Al-ardh
Ihya’u Mawat Al-ardh yaitu membuka lahan
baru yang belum dibuka/ dikerjakan dan dimiliki orang lain.
b. Hukum membuka lahan baru
Membuka lahan baru yang belum yang belum
dimiliki atau dijadikan kahan oleh orang lain .Hukumnya adalah mubah, sabda
rasululllah S.A.W “siapa yang menyuburkan tanah gersang,maka tanah itu menjadi
miliknya”.
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Kepemilikan adalah kekuasaan yang
didukung secara sosial untuk memegang kontrol terhadap sesuatu yang dimiliki
secara eksklusif dan menggunakannya untuk tujuan pribadi.
Kepemilikan yang bisa dijadikan alat
untuk mempertahankan berlangsungnya kehidupan suatu masyarakat memiliki
beberapa sebab kepemilikan, diantaranya bekerja, warisan, kebutuhan harta untuk
menyambung hidup, pemberian negara kepada rakyatnya, dan harta yang diperoleh
tanpa ada kompensasi atau tenaga.
Adapun kepemilikan yang sah di dalam ilmu
muamalah ada dua macam, yaitu : milik sempurna, dan milik tidak sempurna.
Sedangkan sebab-sebab kepemilikan antara
lain : Ihrazul Mubahat, Al Uqud (Aqad), Al - Khalafiyah (Pewarisan) dan Ihya’u
Mawat Al-ardh.
DAFTAR PUSTAKA
http://eki-blogger.blogspot.co.id/2012/09/kepemilikan-dalam-islam.html
http://abizidane1978.blogspot.co.id/2012/06/kepemilikan-dalam-perspektif-islam.html
http://iescfeuiiyogya.blogspot.co.id/2013/05/konsep-kepemilikan-al-milkiyah.html
http://pustakamediasyariah.blogspot.com/2015/05/makalah-pes-kepemilikan-dalam-islam.html?m=1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar