Minggu, 19 Juni 2016

MAKALAH ISLAM DAN AGAMA-AGAMA



 MAKALAH

ISLAM DAN AGAMA-AGAMA




Oleh :
NURJANAH
TAMAMI


Jurusan :
EKONOMI BISNIS SYARIAH

Mata Kuliah :
PENGANTAR STUDI ISLAM

Dosen Pengampu :
SAEPUDIN, MA.








SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM BAKTI NEGARA
SLAWI - TEGAL- JAWA TENGAH
2016


ISLAM DAN AGAMA-AGAMA

I.         PEMBAHASAN
a.      Islam dalam wacana Agama-agama
Dalam studi keagamaan sering dibedakan antara kata religion dengan kata religiosity. Dan di dalam Alquran terdapat tuntunan yang banyak membicarakan realitas tertinggi yang menunjukkaan secara filosofis, tidak mau menerima kebenaran selainnya. Namun disisi lain (sosiologis), ia juga dengan sangat toleran menerima kehadiran keyakinan lain (lakum dinukum wa liyadin). Di samping itu, para pemikir muslim cenderung moderat dan sangat toleran.
Kata religion yang biasa dialih bahasakan menjadi “agama”, pada mulanya lebih berkonotasi sebagai kata kerja, yang mencerminkan sikap keberagamaan atau kesalehan hidup berdasarkan nilai-nilai ketuhanan. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, religion  bergeser menjadi semacam “kata benda” ia menjadi himpunan doktrin, ajaran, serta hukum-hukum yang telah baku yang diyakini sebagai kodifikasi  perintah Tuhan untuk manusia yang melalui proses sistematisasi nilai dan semangat agama, sehingga sosok agama hadir sebagai himpunan tanda Tuhan, yang terhimpun dalam kitab suci dan literatur keagamaan karya para ulama. Sedangkan kata religiositas lebih mengarah pada kualitas penghayatan dan sikap hidup seseorang berdasarkan nilai-nilai keagamaan yang diyakininya. Istilah yang lebih tepat bukan religiositas, tetapi spiritualitas yang lebih menekankan subtansi nilai-nilai luhur keagamaan dan cenderung memalingkan diri dari formalisme keagamaan.
Untuk mengetahui suatu kebenaran agama tidak boleh hanya pada dataran eksoteriknya saja melainkan esoterisnya juga. Sehingga kebenaran dapat diperoleh dari dua sisi, yaitu kebenaran filosofis dan kebenaran sosiologis.
·         Secara filosofis, kebenaran yang sebenarnya adalah satu, tunggal, dan tidak majemuk, yakni sesuai dengan realitas. Tetapi pencapaian kebenaran pada setiap orang berbeda. Dalam konteks agama, semua agama –Islam, Yahudi, Kristen, Hindu, Budha termasuk aliran kepercayaan, ingin mencapai realitas tertinggi  (The Ultimate Reality). Islam dan Kristen menerjemahkan realitas tertinggi  sebagai Allah (dengan pelafalan yang berbeda), Yahudi sebagai Yehova, juga dengan keyakinan yang lainnya.
·         Sedangkan dari sisi sosiologis, ditinjau dari segi ini menjadikan kebenaran tentang pencapaian realitas tertinggi menjadi berbeda. Disini semua agama menganggap bahwa agamanya lah yang paling benar, padahal perbedaan yang terjadi  secara hakiki bukan terletak pada realita tertinggi.
Atas dasar kedua sisi kebenaran tersebut, sebaiknya realitas tertinggi dijadikan patokan . Jika realitas tertinggi pada hakikatnya adalah satu, maka secara otomatis prinsip-prinsip filosofis setiap agama adalah satu juga. Yang sebaiknya dipertahankan adalah kebenaran yang dikejar oleh semua agama dan bukan simbol agama.
Menurut Bambang Sugiharto, tantangan yang dihadapi setiap agama sekurang-kurangnya saat ini ada tiga;
1.      Dalam menghadapi persoalan kontemporer yang ditandai disorientasi nilai dan degradasi moralitas, agama ditantang untuk tampil sebagai suara moral yang otentik.
2.      Agama harus menghadapi  kecenderungan pluralisme, mengolahnya dalam kerangka “teologi” baru dan mewujudkannya dalam aksi-aksi kerjasama plural.
3.      Agama tampil sebagai pelopor perlawanan terhadap segala bentuk penindasan dan ketidak-adilan.
Gagasan diatas menggambarkan agama yang berada dalam posisi yang sulit, disatu sisi diharapkan menjadi problem solver terhadap situasi yang diakibatkan oleh modernitas. Sedangkan disisi lain, konflik antar agama bahkan intern agama belum berhasil diselesaikan. Oleh karena itu kita perlu mempelajari tipologi keberagamaan.
Menurut Komarudin Hidayat, ada empat tipologi  sikap keberagamaan ;
1.      Ekslusivisme           
Melahirkan pandangan bahwa ajaran yang paling benar hanyalah agama yang  dipeluknya. Agama lain sesat, dan wajib dikikis, atau pemeluknya dikonfersi karena baik agama maupun pemeluknya, dinilai terkutuk dalam pandangan Tuhan.
2.      Inklusivisme
Berpandangan bahwa diluar agama yang dianutnya, juga terdapat kebenaran meskipun tidak seutuh dan sesempurna agama yang dianutnya.
3.      Pluralisme
Berpandangan bahwa secara teologis, pluralitas agama dipandang sebagai sesuatu realitas niscaya yang masing-masing sejajar sehingga semangat misionaris atau dakwah dianggap “tidak relevan”.
Eklektisisme adalah sikap keberagamaan yang berusaha memilih dan mempertemukan berbagai  segi ajaran agama yang dianggap baik dan cocok untuk dirinya sehingga format akhir dari sebuah agama menjadi semacam mozaik yang bersifat eklektik.

4.      Universalisme
Beranggapan bahwa semua agama itu semuanya sama pada dasarnya. Hanya karena faktor historis-antropologis agama kemudian tampil  dalam format plural.

b.      Signifikasi Studi Islam
Dari segi tingkatan kebudayaan, agama merupakan universal cultural. Salah satu prinsip fungsional mengatakan bahwa segala sesuatu yang tidak berfungsi akan lenyap dengan sendirinya. Karena sejak dulu sampai sekarang agama dengan tangguh menyatakan eksistensinya, berarti ia mempunyai  dan memerankan  sejumlah peran dan fungsi di masyarakat (Djamari,1933: 79). Oleh karena itu secara umum studi Islam menjadi sangat penting, karena agama (termasuk Islam) memerankan sejumlah peran dan fungsi di masyarakat.
Ide-ide dalam kitab suci Al Qur’an merupakan dasar normatif dan pondasi dari ajaran-ajaran Islam yang ditawarkan kepada manusia. Al-Qur’an memegang landasan moral bagi gagasan-gagasan dalam praktek seperti ekonomi, politik dan sosial di tengah-tengah kehidupan manusia. Meski Al-Qur’an meliputi ide-ide normatif Islam, teks-teksnya di turunkan kepada Nabi Muhammad SAW tidak hanya dalam bentuk idenya semata, melainkan juga disampaikan secara verbal.
Pentingnya dilakukan studi terhadap ide-ide normatif Islam yang terhimpun dalam Al-Qur’an ini agar diperoleh pemahaman normative doctrinal yang cukup terhadap sumber dari teks suci Islam untuk menunjang pemahaman yang  kontekstual–histories sehingga didapatkan pandangan yang relatif utuh terhadap Islam dengan berbagai atributnya. Hal yang demikian ini untuk menghindari terjadinya proses distorsi dan reduksi terhadap makna substantif Islam dan sekaligus kesalahan dalam mengambil kesimpulan tentangnya.
Kesalahan dan kegagalan para Ilmuwan Barat dalam mamahami masyarakat muslim bukan terletak pada “Perspektif tentang kebenaran”  yang berbeda, melainkan  karena ketidaktahuan dan ketidak-akuratan dalam memahami masyarakat muslim. Salah satu penyebabnya yaitu kurang diperankanya teks-teks normatif Islam dalam kajian masing-masing sebagai landasan normatif untuk melihat historisitas Islam.
Untuk dapat menjelaskan motif-motif kesejarahan dalam normativitas Islam perlu dilakukan studi terhadap dinamika historis yang menjadi perwujudan dari ide–ide Islam, mulai dari permulaan diturunkannya Islam hingga masa sekarang, baik diwilayah tempat turunnya Islam maupun di wilayah-wilayah lain di berbagai belahan dunia.
Menurut masdar Hilmy (2005: 24-27), kerangka besar urgensi dan signifikansi studi Islam dapat diuraikan sebagai berikut :
1.      Studi Islam diarahkan sebagai instrument untuk memahami dan mengetahui  proses sentrifugal dan sentripetal dari Islam dan masyarakat. Di dalam jantung tradisi studi tadi, terdapat al-Qur’an yang dalam proses legalisasinya memiliki kapasitas dan daya gerak keluar (sentrifugal), merasuki dan berdialog dengan berbagai  asuhan budaya, baru berusaha mendapatkan legalisasi dan legitimasi.
2.      Studi Islam secara metodologis memiliki urgensi dan signifikansi dalam konteks untuk memahami cara mendekati Islam, baik pada tataran realitas–empiris maupun normative doktrinal secara utuh dan tuntas. Hal ini agar pemahaman terhadap Islam tidak pincang. Selama ini, beberapa ahli ilmu pengetahuan, termasuk di dalamnya  para orientalis, mendekati Islam dengan metode ilmiah saja. Akibatnya, penelitian mereka  tidak bisa menjelaskan secara utuh obyek yang diteliti karena yang mereka hasilkan melalui penelitian itu hanyalah eksternalitas dari Islam semata.
3.      Studi Islam begerak dengan mengusung kepentingan untuk memperoleh pemahaman yang signifikan terhadap persoalan hubungan antara normativitas dan historisitas dalam rangka menangkap atau memahami esensi atau substansi dari ajaran yang notabene sudah terlembagakan dalam bentuk aliran-aliran pemikiran (schools of thought).
4.      Studi Islam diselenggarakan untuk menghindari pemahaman yang bersifat campur aduk, tidak dapat menunjukkan distingsi antara wilayah agama dan wilayah tradisi atau budaya. Pencampur-adukan itu pada akhirnya akan dapat memunculkan pemahaman yang distortif terhadap konsep kebenaran, antara yang absolute dan relative.

Situasi keberagamaan di Indonesia cenderung menampilkan kondisi keagamaan yang legalistik dan formalistik. Agama harus dimanifestasikan dalam bentuk ritual-formal, sehingga muncul formalisme keagamaan yang lebih mementingkan “bentuk” daripada “isi”. Kondisi seperti itu menyebabkan agama kurang dipahami sebagai seperangkat paradigma moral dan etika yang bertujuan membebaskan manusia dari kebodohan, keterbelakangan, dan kemiskinan.
Harun Nasution berpandangan bahwa orang yang bertaqwa adalah orang yang melaksanakan perintah Tuhan  dan menjauhi larangan-Nya. Dengan demikian, orang-orang yang bertaqwa adalah orang yang dekat dengan Tuhan; dan yang dekat dengan yang Maha suci adalah “suci”; orang-orang yang suci lah yang mempunyai moral yang tinggi.
Gambaran yang dikemukakan oleh Harun Nasution diatas mendapat sambutan cukup serius dari Masdar F. Mas’udi. Beliau mengatakan bahwa kesalahan kita, sebagai umat islam di Indonesia, adalah mengabaikan agama sebagai sistem nilai etika dan moral yang relevan bagi kehidupan manusia sebagai mahluk yang bermartabat dan berakal budi.
Karena itu, kita prihatin ketika muncul ironi: negara Indonesia yang penduduknya 100% beragama, mayoritas beragama islam, dan para pejabatnya rajin merayakan hari-hari besar keagamaan, ternyata menduduki peringkat terkemuka  diantara negara-negara terkorup di dunia. Oleh karena itulah bisa disimpulkan bahwa umat islam di Indonesia belum sepenuhnya  memahami dan menghayati mengenai Islam sebenar-benarnya.
Maka signifikasi studi islam di Indonesia adalah mengubah pemahaman dan pengahayatan keIslaman masyarakat  muslim di Indonesia secara khusus, dan masyarakat beragama pada umumnya.

c.       Pertumbuhan Studi Islam di Dunia
Pendidikan Islam pada zaman awal dilaksanakan di masjid-masjid. Muhamad Yunus menjelaskan bahwa pusat-pusat studi islam klasik adalah Mekah dan Madinah (Hijaz), Basrah dan Kufah (Irak), Damaskus dan Palestina (Syam), dan Fistat (Mesir).
·         Madrasah Mekah di pelopori oleh Mu’adz bin Jabal;
·         Madrash Madinah dipelopori oleh Abu Bakar, Umar, dan Utsman;
·         Madrasah Basrah dipelopori oleh Abu Musa al-Asy’ari dan Anas bin Malik; madrasah Kufah dipelopori oleh Ali bin abi Thalib dan ‘Abdullah bin Mas’ud;
·         Madrash Damaskus (Syiria) dipelopori oleh Ubadah dan Abu Darada;
·         Madrasah Fistat (Mesir) dipelopori oleh Abdullah bin Amr bin ‘ash
Pada masa kejayaan Islam, studi Islam dipusatkan di Ibu kota negara, yaitu Baghdad. Di Istana Dinasti Abbas pada zaman Al- Makmun (813-833), putra Harun al-Rasyid, didirikan bait Al-Hikmah, yang dipelopori oleh khalifah sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan dengan wajah ganda : sebagai perpustakaan serta sebagai lembaga pendidikan (sekolah) dan penerjemahan karya-karya Yunani kuno kedalam bahasa arab untuk melakukan akselerasi pengembangan ilmu pengetahuan.
Disamping itu, di Eropa terdapat pusat kebudayaan yang merupakan tandingan Bagdad, yaitu Universitas Cordova yang didirikan oleh Abdul-Rahman III (929-961 M) dari Bani Umayah di Spanyol. Di timur Islam, Bagdad, juga didirikan madrash Nizhamiyah yang didirikan oleh perdana Mentri Nizham al-Muluk; dan di Kairo Mesir didirikan Universitas Al-Azhar yang didirikan oleh Dinasti Fatimiyah dari kalangan Syiah. Dengan demikian, pusat-pusat kebudayaan yang juga merupakan pusat studi islam pada zaman kejayaan Islam adalah Baghdad, Mesir, dan Spanyol.
Studi Islam sekarang ini berkembang hampir di seluruh negara di dunia, baik di negara Islam  maupun bukan negara islam. Studi Islam di Negara-negara non-Islam di antaranya: Aligarch University (India), Chicago University (Chicago), Los angeles, London dan Kanada.
Adapun di Indonesia, studi Islam (pendidikan Islam tinggi) dilaksanakan di 14 Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dan 39 Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN). Ada juga beberapa sekolah dan perguruan tinggi swasta yang secara khusus menyelenggarakan pendidikan tinggi Islam seperti Fakultas Agama si Universitas Muhamadiyah Jakarta dan Universitas Islam Bandung (UNISBA).

II.           KESIMPULAN
Dalam studi keagamaan sering dibedakan antara kata religion dengan kata religiosity. Kata religion yang biasa dialih bahasakan menjadi “agama”, pada mulanya lebih berkonotasi sebagai kata kerja, yang mencerminkan sikap keberagamaan atau kesalehan hidup berdasarkan nilai-nilai ketuhanan. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, religion  bergeser menjadi semacam “kata benda” ia menjadi himpunan doktrin, ajaran, serta hukum-hukum yang telah baku yang diyakini sebagai kodifikasi  perintah Tuhan untuk manusia yang melalui proses sistematisasi nilai dan semangat agama, sehingga sosok agama hadir sebagai himpunan sanda Tuhan, yang terhimpun dalam kitab suci dan litelatur keagamaan karya para ulama.
Secara filosofis, kebenaran yang sebenarnya adalah satu, tunggal, dan tidak majemuk, yakni sesuai dengan realitas. Dari sisi sosiologis, ditinjau dari segi ini menjadikan kebenaran tentang pencapaian realitas tertinggi menjadi berbeda.
Komarudin Hidayat menjelaskan tentang tipologi  sikap keberagamaan ada empat,yaitu : (1)Ekslusivisme, (2)Inklusivisme, (3)Pluralisme, (4)Universalisme.
Dari segi tingkatan kebudayaan agama merupakan universal cultural. Dan secara umum, studi Islam menjadi penting karena agama, termasuk Islam, memerankan sejumlah peran dan fungsi di masyarakat.
Kesalahan dan kegagalan para Ilmuwan Barat dalam mamahami masyarakat Muslim karena ketidaktahuan dan ketidak-akuratan dalam memahami masyarakat Muslim sebab kurang diperankanya teks-teks normative Islam dalam kajian masing-masing sebagai landasan normative untuk melihat historisitas Islam.
Untuk dapat menjelaskan motif-motif kesejarahan dalam normativitas Islam perlu dilakukan studi terhadap dinamika histories yang menjadi perwujudan dari ide–ide Islam, mulai dari permulaan diturunkannya Islam hingga masa akhir akhir ini baik diwilayah yang menjadi tempat turunnya Islam maupun di wilayah wilayah lain di berbagai belahan dunia.
Urgensi dan signifikansi studi Islam menurut masdar Hilmy (2005: 24-27) adalah : (1) Studi Islam diarahkan sebagai instrument untuk memahami dan mengetahui  proses sentrifugal dan sentripetal dari Islam dan masyarakat. (2) Studi Islam secara metodologis memiliki urgensi dan signifikansi dalam konteks untuk memahami cara mendekati Islam, baik pada tataran realitas – empiric maupun normative doktrinal secara utuh dan tuntas. (3) Studi Islam begerak dengan mengusung kepentingan untuk memperoleh pemahaman yang signifikan terhadap persoalan hubungan antara normativitas dan historisitas dalam rangka menangkap atau memahami esensi atau substansi dari ajaran yang notabene sudah terlembagakan dalam bentuk aliran-aliran pemikiran (schools of thought). (4) Studi Islam diselenggarakan untuk menghindari pemahaman yang bersifat campur aduk, tidak dapat menunjukkan distingsi antara wilayah agama dan wilayah tradisi atau budaya karena dapat memunculkan pemahaman yang distortif terhadap konsep kebenaran, antara yang absolute dan relative.
Pendidikan Islam pada zaman awal dilaksanakan di masjid-masjid. Pada masa kejayaan Islam, studi Islam dipusatkan di Ibu kota negara, yaitu Bagdad. Di Eropa terdapat pusat kebudayaan yang merupakan tandingan Bagdad, yaitu Universitas Cordova yang didirikan oleh Abd al-Rahman III (929-961 M.) dari Bani Umayah di Spanyol.
Studi Islam sekarang ini berkembang hampir di seluruh negara di dunia, baik di negara Islam  maupun bukan negara islam. Di Indonesia, studi Islam dilaksanakan di 14 Institut Agama Islam Negeri dan 39 Sekolah Tinggi Agama Islam, serta beberapa sekolah dan perguruan tinggi swasta yang secara khusus menyelenggarakan pendidikan tinggi Islam.







Daftar Pustaka

http://kurnia-yalid.blogspot.co.id/p/bab-i-pendahuluan-a_41.html
Drs. Atang Abd. Hakim, MA., Dr. Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya Offset, cet. x, 2008),

Tidak ada komentar:

Posting Komentar