MAKALAH
ISLAM DAN AGAMA-AGAMA
Oleh :
NURJANAH
TAMAMI
Jurusan :
EKONOMI BISNIS SYARIAH
Mata Kuliah :
PENGANTAR STUDI ISLAM
Dosen Pengampu :
SAEPUDIN, MA.
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM BAKTI NEGARA
SLAWI - TEGAL- JAWA
TENGAH
2016
ISLAM
DAN AGAMA-AGAMA
I.
PEMBAHASAN
a.
Islam
dalam wacana Agama-agama
Dalam studi keagamaan sering
dibedakan antara kata religion dengan kata religiosity. Dan di
dalam Alquran terdapat tuntunan yang banyak membicarakan realitas tertinggi
yang menunjukkaan secara filosofis, tidak mau menerima kebenaran selainnya.
Namun disisi lain (sosiologis), ia juga dengan sangat toleran menerima
kehadiran keyakinan lain (lakum dinukum wa liyadin). Di samping itu, para
pemikir muslim cenderung moderat dan sangat toleran.
Kata religion yang biasa dialih
bahasakan menjadi “agama”, pada mulanya lebih berkonotasi sebagai kata kerja,
yang mencerminkan sikap keberagamaan atau kesalehan hidup berdasarkan
nilai-nilai ketuhanan. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, religion
bergeser menjadi semacam “kata benda” ia menjadi himpunan doktrin, ajaran,
serta hukum-hukum yang telah baku yang diyakini sebagai kodifikasi
perintah Tuhan untuk manusia yang melalui proses sistematisasi nilai dan
semangat agama, sehingga sosok agama hadir sebagai himpunan tanda Tuhan, yang
terhimpun dalam kitab suci dan literatur keagamaan karya para ulama. Sedangkan
kata religiositas lebih mengarah pada kualitas penghayatan dan sikap hidup
seseorang berdasarkan nilai-nilai keagamaan yang diyakininya. Istilah yang
lebih tepat bukan religiositas, tetapi spiritualitas yang lebih
menekankan subtansi nilai-nilai luhur keagamaan dan cenderung memalingkan diri
dari formalisme keagamaan.
Untuk mengetahui suatu kebenaran
agama tidak boleh hanya pada dataran eksoteriknya saja melainkan esoterisnya
juga. Sehingga kebenaran dapat diperoleh dari dua sisi, yaitu kebenaran
filosofis dan kebenaran sosiologis.
·
Secara filosofis, kebenaran yang
sebenarnya adalah satu, tunggal, dan tidak majemuk, yakni sesuai dengan
realitas. Tetapi pencapaian kebenaran pada setiap orang berbeda. Dalam konteks
agama, semua agama –Islam, Yahudi, Kristen, Hindu, Budha termasuk aliran
kepercayaan, ingin mencapai realitas tertinggi (The Ultimate Reality).
Islam dan Kristen menerjemahkan realitas tertinggi sebagai Allah (dengan
pelafalan yang berbeda), Yahudi sebagai Yehova, juga dengan keyakinan yang
lainnya.
·
Sedangkan dari sisi sosiologis, ditinjau
dari segi ini menjadikan kebenaran tentang pencapaian realitas tertinggi
menjadi berbeda. Disini semua agama menganggap bahwa agamanya lah yang paling
benar, padahal perbedaan yang terjadi secara hakiki bukan terletak pada
realita tertinggi.
Atas dasar kedua sisi kebenaran
tersebut, sebaiknya realitas tertinggi dijadikan patokan . Jika realitas
tertinggi pada hakikatnya adalah satu, maka secara otomatis prinsip-prinsip
filosofis setiap agama adalah satu juga. Yang sebaiknya dipertahankan adalah
kebenaran yang dikejar oleh semua agama dan bukan simbol agama.
Menurut Bambang Sugiharto, tantangan
yang dihadapi setiap agama sekurang-kurangnya saat ini ada tiga;
1.
Dalam menghadapi persoalan kontemporer
yang ditandai disorientasi nilai dan degradasi moralitas, agama ditantang untuk
tampil sebagai suara moral yang otentik.
2.
Agama harus menghadapi
kecenderungan pluralisme, mengolahnya dalam kerangka “teologi” baru dan
mewujudkannya dalam aksi-aksi kerjasama plural.
3.
Agama tampil sebagai pelopor perlawanan terhadap
segala bentuk penindasan dan ketidak-adilan.
Gagasan diatas menggambarkan agama
yang berada dalam posisi yang sulit, disatu sisi diharapkan menjadi problem
solver terhadap situasi yang diakibatkan oleh modernitas. Sedangkan disisi
lain, konflik antar agama bahkan intern agama belum berhasil diselesaikan. Oleh
karena itu kita perlu mempelajari tipologi keberagamaan.
Menurut Komarudin Hidayat, ada
empat tipologi sikap keberagamaan ;
1. Ekslusivisme
Melahirkan
pandangan bahwa ajaran yang paling benar hanyalah agama yang dipeluknya.
Agama lain sesat, dan wajib dikikis, atau pemeluknya dikonfersi karena baik
agama maupun pemeluknya, dinilai terkutuk dalam pandangan Tuhan.
2.
Inklusivisme
Berpandangan
bahwa diluar agama yang dianutnya, juga terdapat kebenaran meskipun tidak
seutuh dan sesempurna agama yang dianutnya.
3.
Pluralisme
Berpandangan
bahwa secara teologis, pluralitas agama dipandang sebagai sesuatu realitas
niscaya yang masing-masing sejajar sehingga semangat misionaris atau dakwah
dianggap “tidak relevan”.
Eklektisisme
adalah sikap keberagamaan yang berusaha memilih dan mempertemukan
berbagai segi ajaran agama yang dianggap baik dan cocok untuk dirinya
sehingga format akhir dari sebuah agama menjadi semacam mozaik yang bersifat
eklektik.
4.
Universalisme
Beranggapan
bahwa semua agama itu semuanya sama pada dasarnya. Hanya karena faktor
historis-antropologis agama kemudian tampil dalam format plural.
b.
Signifikasi
Studi Islam
Dari segi tingkatan kebudayaan, agama
merupakan universal cultural. Salah satu prinsip fungsional mengatakan bahwa
segala sesuatu yang tidak berfungsi akan lenyap dengan sendirinya. Karena sejak
dulu sampai sekarang agama dengan tangguh menyatakan eksistensinya, berarti ia
mempunyai dan memerankan sejumlah peran dan fungsi di masyarakat
(Djamari,1933: 79). Oleh karena itu secara umum studi Islam menjadi sangat
penting, karena agama (termasuk Islam) memerankan sejumlah peran dan fungsi di
masyarakat.
Ide-ide dalam kitab suci Al Qur’an merupakan dasar normatif dan pondasi dari ajaran-ajaran Islam yang ditawarkan
kepada manusia. Al-Qur’an memegang landasan moral bagi gagasan-gagasan dalam
praktek seperti ekonomi, politik dan sosial di tengah-tengah kehidupan manusia. Meski Al-Qur’an
meliputi ide-ide normatif Islam, teks-teksnya di turunkan kepada Nabi Muhammad SAW tidak hanya dalam bentuk idenya semata, melainkan juga
disampaikan secara verbal.
Pentingnya
dilakukan studi terhadap ide-ide normatif Islam yang terhimpun dalam Al-Qur’an
ini agar diperoleh pemahaman normative
doctrinal yang cukup terhadap sumber dari teks suci Islam untuk menunjang
pemahaman yang kontekstual–histories sehingga didapatkan pandangan yang
relatif utuh terhadap Islam dengan berbagai atributnya. Hal yang
demikian ini untuk menghindari terjadinya proses distorsi dan reduksi terhadap
makna substantif Islam dan sekaligus kesalahan dalam mengambil kesimpulan
tentangnya.
Kesalahan
dan kegagalan para Ilmuwan Barat dalam mamahami masyarakat muslim bukan terletak pada “Perspektif tentang kebenaran”
yang berbeda, melainkan karena ketidaktahuan dan ketidak-akuratan dalam memahami masyarakat muslim. Salah satu penyebabnya yaitu kurang diperankanya teks-teks normatif Islam dalam kajian masing-masing sebagai landasan
normatif untuk melihat historisitas Islam.
Untuk
dapat menjelaskan motif-motif kesejarahan dalam normativitas Islam perlu
dilakukan studi terhadap dinamika historis yang menjadi perwujudan dari ide–ide
Islam, mulai dari permulaan diturunkannya Islam hingga masa sekarang,
baik diwilayah tempat turunnya Islam maupun di wilayah-wilayah lain di berbagai belahan dunia.
Menurut masdar Hilmy (2005: 24-27), kerangka besar urgensi dan signifikansi
studi Islam dapat diuraikan sebagai berikut :
1.
Studi
Islam diarahkan sebagai instrument untuk memahami dan mengetahui proses
sentrifugal dan sentripetal dari Islam dan masyarakat. Di dalam jantung tradisi
studi tadi, terdapat al-Qur’an yang dalam proses legalisasinya memiliki
kapasitas dan daya gerak keluar (sentrifugal), merasuki dan berdialog dengan
berbagai asuhan budaya, baru berusaha mendapatkan legalisasi dan legitimasi.
2.
Studi Islam secara metodologis memiliki urgensi dan signifikansi dalam
konteks untuk memahami cara mendekati Islam, baik pada tataran realitas–empiris maupun normative doktrinal secara utuh dan tuntas. Hal ini agar pemahaman terhadap Islam tidak pincang. Selama ini,
beberapa ahli ilmu pengetahuan, termasuk di dalamnya para orientalis,
mendekati Islam dengan metode ilmiah saja. Akibatnya, penelitian mereka tidak bisa
menjelaskan secara utuh obyek yang diteliti karena yang mereka hasilkan melalui
penelitian itu hanyalah eksternalitas dari Islam semata.
3.
Studi
Islam begerak dengan mengusung kepentingan untuk memperoleh pemahaman yang
signifikan terhadap persoalan hubungan antara normativitas dan historisitas
dalam rangka menangkap atau memahami esensi atau substansi dari ajaran yang
notabene sudah terlembagakan dalam bentuk aliran-aliran pemikiran (schools of
thought).
4.
Studi
Islam diselenggarakan untuk menghindari pemahaman yang bersifat campur aduk,
tidak dapat menunjukkan distingsi antara wilayah agama dan wilayah tradisi atau
budaya. Pencampur-adukan itu pada akhirnya akan dapat memunculkan pemahaman yang distortif terhadap
konsep kebenaran, antara yang absolute dan relative.
Situasi keberagamaan di Indonesia
cenderung menampilkan kondisi keagamaan yang legalistik dan formalistik. Agama
harus dimanifestasikan dalam bentuk ritual-formal, sehingga muncul formalisme
keagamaan yang lebih mementingkan “bentuk” daripada “isi”. Kondisi seperti itu
menyebabkan agama kurang dipahami sebagai seperangkat paradigma moral dan etika
yang bertujuan membebaskan manusia dari kebodohan, keterbelakangan, dan
kemiskinan.
Harun Nasution berpandangan bahwa
orang yang bertaqwa adalah orang yang melaksanakan perintah Tuhan dan
menjauhi larangan-Nya. Dengan demikian, orang-orang yang bertaqwa adalah orang
yang dekat dengan Tuhan; dan yang dekat dengan yang Maha suci adalah “suci”;
orang-orang yang suci lah yang mempunyai moral yang tinggi.
Gambaran yang dikemukakan oleh
Harun Nasution diatas mendapat sambutan cukup serius dari Masdar F. Mas’udi.
Beliau mengatakan bahwa kesalahan kita, sebagai umat islam di Indonesia, adalah
mengabaikan agama sebagai sistem nilai etika dan moral yang relevan bagi
kehidupan manusia sebagai mahluk yang bermartabat dan berakal budi.
Karena itu, kita prihatin ketika
muncul ironi: negara Indonesia yang penduduknya 100% beragama, mayoritas
beragama islam, dan para pejabatnya rajin merayakan hari-hari besar keagamaan,
ternyata menduduki peringkat terkemuka diantara negara-negara terkorup di
dunia. Oleh karena itulah bisa disimpulkan bahwa umat islam di Indonesia belum
sepenuhnya memahami dan menghayati mengenai Islam sebenar-benarnya.
Maka signifikasi studi islam di
Indonesia adalah mengubah pemahaman dan pengahayatan keIslaman masyarakat
muslim di Indonesia secara khusus, dan masyarakat beragama pada umumnya.
c.
Pertumbuhan
Studi Islam di Dunia
Pendidikan Islam pada zaman awal
dilaksanakan di masjid-masjid. Muhamad Yunus menjelaskan bahwa pusat-pusat
studi islam klasik adalah Mekah dan Madinah (Hijaz), Basrah dan Kufah (Irak),
Damaskus dan Palestina (Syam), dan Fistat (Mesir).
·
Madrasah Mekah di pelopori oleh Mu’adz
bin Jabal;
·
Madrash Madinah dipelopori oleh Abu
Bakar, Umar, dan Utsman;
·
Madrasah Basrah dipelopori oleh Abu Musa
al-Asy’ari dan Anas bin Malik; madrasah Kufah dipelopori oleh Ali bin abi
Thalib dan ‘Abdullah bin Mas’ud;
·
Madrash Damaskus (Syiria) dipelopori
oleh Ubadah dan Abu Darada;
·
Madrasah Fistat (Mesir) dipelopori oleh
Abdullah bin Amr bin ‘ash
Pada masa kejayaan Islam, studi
Islam dipusatkan di Ibu kota negara, yaitu Baghdad. Di Istana Dinasti Abbas
pada zaman Al- Makmun (813-833), putra Harun al-Rasyid, didirikan bait
Al-Hikmah, yang dipelopori oleh khalifah sebagai pusat pengembangan ilmu
pengetahuan dengan wajah ganda : sebagai perpustakaan serta sebagai lembaga
pendidikan (sekolah) dan penerjemahan karya-karya Yunani kuno kedalam bahasa
arab untuk melakukan akselerasi pengembangan ilmu pengetahuan.
Disamping itu, di Eropa terdapat
pusat kebudayaan yang merupakan tandingan Bagdad, yaitu Universitas Cordova
yang didirikan oleh Abdul-Rahman III (929-961 M) dari Bani Umayah di Spanyol.
Di timur Islam, Bagdad, juga didirikan madrash Nizhamiyah yang didirikan oleh
perdana Mentri Nizham al-Muluk; dan di Kairo Mesir didirikan Universitas
Al-Azhar yang didirikan oleh Dinasti Fatimiyah dari kalangan Syiah. Dengan
demikian, pusat-pusat kebudayaan yang juga merupakan pusat studi islam pada
zaman kejayaan Islam adalah Baghdad, Mesir, dan Spanyol.
Studi Islam sekarang ini berkembang
hampir di seluruh negara di dunia, baik di negara Islam maupun bukan
negara islam. Studi Islam di Negara-negara non-Islam di antaranya: Aligarch
University (India), Chicago University (Chicago), Los angeles, London dan Kanada.
Adapun di Indonesia, studi Islam
(pendidikan Islam tinggi) dilaksanakan di 14 Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
dan 39 Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN). Ada juga beberapa sekolah dan
perguruan tinggi swasta yang secara khusus menyelenggarakan pendidikan tinggi
Islam seperti Fakultas Agama si Universitas Muhamadiyah Jakarta dan Universitas
Islam Bandung (UNISBA).
II.
KESIMPULAN
Dalam
studi keagamaan sering dibedakan antara kata religion dengan kata religiosity.
Kata religion yang biasa dialih bahasakan menjadi “agama”, pada mulanya
lebih berkonotasi sebagai kata kerja, yang mencerminkan sikap keberagamaan atau
kesalehan hidup berdasarkan nilai-nilai ketuhanan. Tetapi dalam perkembangan
selanjutnya, religion bergeser menjadi semacam “kata benda” ia menjadi
himpunan doktrin, ajaran, serta hukum-hukum yang telah baku yang diyakini
sebagai kodifikasi perintah Tuhan untuk manusia yang melalui proses
sistematisasi nilai dan semangat agama, sehingga sosok agama hadir sebagai
himpunan sanda Tuhan, yang terhimpun dalam kitab suci dan litelatur keagamaan
karya para ulama.
Secara
filosofis, kebenaran yang sebenarnya adalah satu, tunggal, dan tidak majemuk,
yakni sesuai dengan realitas. Dari sisi sosiologis, ditinjau dari segi ini
menjadikan kebenaran tentang pencapaian realitas tertinggi menjadi berbeda.
Komarudin
Hidayat menjelaskan tentang tipologi sikap keberagamaan ada empat,yaitu :
(1)Ekslusivisme, (2)Inklusivisme, (3)Pluralisme, (4)Universalisme.
Dari
segi tingkatan kebudayaan agama merupakan universal cultural. Dan secara
umum, studi Islam menjadi penting karena agama, termasuk Islam, memerankan
sejumlah peran dan fungsi di masyarakat.
Kesalahan
dan kegagalan para Ilmuwan Barat dalam mamahami masyarakat Muslim karena
ketidaktahuan dan ketidak-akuratan dalam memahami masyarakat Muslim sebab kurang diperankanya teks-teks normative Islam dalam
kajian masing-masing sebagai landasan normative untuk melihat historisitas
Islam.
Untuk
dapat menjelaskan motif-motif kesejarahan dalam normativitas Islam perlu
dilakukan studi terhadap dinamika histories yang menjadi perwujudan dari
ide–ide Islam, mulai dari permulaan diturunkannya Islam hingga masa akhir akhir
ini baik diwilayah yang menjadi tempat turunnya Islam maupun di wilayah wilayah
lain di berbagai belahan dunia.
Urgensi dan signifikansi studi Islam menurut masdar Hilmy
(2005: 24-27) adalah :
(1) Studi Islam diarahkan sebagai instrument
untuk memahami dan mengetahui proses sentrifugal dan sentripetal dari
Islam dan masyarakat. (2) Studi Islam secara metodologis memiliki urgensi dan
signifikansi dalam konteks untuk memahami cara mendekati Islam, baik pada
tataran realitas – empiric maupun normative doktrinal secara utuh dan tuntas. (3)
Studi Islam begerak dengan mengusung kepentingan untuk
memperoleh pemahaman yang signifikan terhadap persoalan hubungan antara
normativitas dan historisitas dalam rangka menangkap atau memahami esensi atau
substansi dari ajaran yang notabene sudah terlembagakan dalam bentuk
aliran-aliran pemikiran (schools of thought). (4) Studi Islam diselenggarakan untuk menghindari pemahaman
yang bersifat campur aduk, tidak dapat menunjukkan distingsi antara wilayah
agama dan wilayah tradisi atau budaya karena dapat memunculkan pemahaman yang distortif terhadap
konsep kebenaran, antara yang absolute dan relative.
Pendidikan
Islam pada zaman awal dilaksanakan di masjid-masjid. Pada masa kejayaan Islam,
studi Islam dipusatkan di Ibu kota negara, yaitu Bagdad. Di Eropa terdapat
pusat kebudayaan yang merupakan tandingan Bagdad, yaitu Universitas Cordova
yang didirikan oleh Abd al-Rahman III (929-961 M.) dari Bani Umayah di Spanyol.
Studi
Islam sekarang ini berkembang hampir di seluruh negara di dunia, baik di negara
Islam maupun bukan negara islam. Di Indonesia, studi Islam dilaksanakan
di 14 Institut Agama Islam Negeri dan 39 Sekolah Tinggi Agama Islam, serta beberapa
sekolah dan perguruan tinggi swasta yang secara khusus menyelenggarakan
pendidikan tinggi Islam.
Daftar
Pustaka
http://kurnia-yalid.blogspot.co.id/p/bab-i-pendahuluan-a_41.html
Drs. Atang Abd. Hakim, MA., Dr. Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam,
(Bandung, PT Remaja Rosdakarya Offset, cet. x, 2008),
Tidak ada komentar:
Posting Komentar